Kamis, 21 Maret 2013

Cemburu Telah Membutakan Hatiku

Sumber gambar di sini



Aku dinikahi laki-laki itu adalah kebahagiaan yang sulit aku ungkapkan secara detail. Aku mengaguminya sejak awal memulai pendidikan di Universitas. Dia laki-laki yang bertutur kata halus, tingkah laku yang sopan, tatapan mata yang menyejukkan, dan dia sangat tampan. Diam-diam aku mencintainya. Aku ingin memilikinya lebih dari seorang sahabat. Tapi aku tak berani untuk mengungkapkan secara langsung, nyaliku tak seberani teman-temanku yang terus mengejarnya.  Aku hanya mengagumi dalam diam.

Hingga lulus Universitas aku masih menyimpan perasaan itu dengan rapi. Dia tak tahu. Dia tetap memperlakukan aku seperti dia memperlakukan teman-temannya. Akupun sebaliknya.

Yang membuatku terus menyembunyikan perasaan ini karena aku takut kehilangan sosoknya yang selalu menemaniku. Aku takut jika nanti aku mengungkapkan, dia akan menjauh dan merasa risih dengan perasaanku untuknya. Aku tak menginginkan itu terjadi.

Setelah kami diwisuda aku merasa ada yang mengganjal tapi sulit diungkapkan.

Kekhawatiran yang mendalam.

Aku akan kehilangan hari-hari bersamanya.

“Yeah aku sudah tidak satu Universitas dengannya, kami akan melanjutkan hidup masing-masing dan memiliki lingkungan baru, itu artinya aku akan kehilangan dia di hariku” Batinku bergejolak.

Seminggu telah berlalu dari kami diwisuda, aku masih menunggu ijazah keluar dan menghabiskan waktu di rumah. Aku sangat kesepian. Pikiranku banyak digunakan untuk memikirkan dia daripada memikirkan pekerjaan yang nanti akan aku jadikan hobby. Ini sangat membuatku murung dan tak melakukan apa-apa.
Aku sangat merindukan tawanya, tatapannya, ceritanya dan semuanya yang ada pada dirinya.

Kurasa aku telah melakukan kebodohan besar dalam hidupku. Aku terus menyembunyikan dan ketakutan dengan apa yang belum tentu terjadi.


“Semua belum terlambat” Batinku mulai semangat.

Aku meraih ponsel dan menelponnya. Kami mengobrol sepanjang malam bercerita rencana ke depan, membicarakan masa-masa di Universitas dan tertawa. Kami sangat menikmati obrolan kami malam itu.

Tak kuduga, malam-malam berikutnya dia menelponku lagi dan lagi. Kami tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Selalu saja ada topik yang memperlama obrolan kami. Aku suka itu. Aku bahagia. Akupun bisa merasakan hal yang sama dari suaranya, tawanya dan nada bicaranya di seberang sana.

Suatu waktu dia mengunjungiku, kami memang tinggal di beda Pulau. Aku di Bandung dan dia di Manado. Tentu saja aku sangat menanti-nanti pertemukan kami itu. Aku sangat tak sabar melihat dia lagi. Rinduku akan terobati.

Hari yang kunanti tiba, aku menjemputnya di Bandara. Aku berdiri di ruang penjemputan dengan mengangkat kertas bertulisan “ROY FAHRUL ANTONI”. Mungkin orang yang melihatku juga merasakan kebahagiaanku. Ujung bibir kutarik lebar-lebar memamerkan gigi putihku. Aku mengenakan pakaian yang menurutku membuatku cantik. Memakai parfum setengah botol. Aku ingin tampil menarik di matanya.

Mataku berbinar ketika melihat tubuhnya yang kekar, mengenakan kemeja berwarna merah marun, celana kain hitam, dan menarik koper. Dia tersenyum yang selalu aku rindukan ke arahku. Aku membalas senyumnya. Tangan kirinya menyembunyikan sesuatu dibalik punggungnya. Masih dengan tersenyum dia menyapaku.

“Rani, apa kabar? Kamu masih saja imut-imut ya” Dia masih suka becanda seperti masa di Universitas.

Aku mencupit perutnya. Parfumnya masih sama seperti dulu. Mataku melirik kepergelangan tangannya, aku tersenyum manis. Dia masih mengenakan gelang persahabatan kami.

“ Ini buat kamu” Roy menyodorkan sekotak coklat dan setangkai mawar. Itu bukan Hari Valentine seperti anak muda lakukan untuk berbagi coklat dan mawar. Dia memang selalu memberiku coklat di saat pergi bersama, tapi kalau setangkai mawar baru kali pertama aku mendapatkan darinya.

Wajahku seketika memerah. Dia menggodaku dengan jail.

Kami menuju kafe dan menghabiskan sepanjang hari meminum teh dan mengobrol. Aku suka mendengarkan dan diapun sebaliknya. Kami sama-sama suka bercerita dan mendengarkan. Aku menemukan kenyamanan yang tak pernah aku dapat dari laki-laki lain. Aku benar-benar jatuh cinta dengan laki-laki itu. Jatuh cinta yang melibatkan perasaan dan logikaku.

***

Aku sangat bahagia ketika dia memutuskan bekerja di Bandung dan menetap di Bandung. Hal itu membuat kami semakin dekat. Lagi-lagi aku bahagia yang tiada tara, dia mengatakan lebih dulu jika dia mencintaiku dan ingin menikahiku.

Seperti kebiasaan kami selalu menyempatkan meminum teh bersama dan saling mendengarkan. Tertawa dan tertawa lagi. Kami memang konyol selalu mengulur waktu untuk lebih lama bersama. Namun kami bahagia melakukan itu.

Kami telah resmi menikah. Laki-laki yang kukagumi diam-diam telah resmi menjadi suamiku dan sekarang dia berbaring di sisiku. Memelukku dengan lembut. Hempusan nafasnya terasa mengenai pipiku. Aku mencium keningnya.

“Aku akan terus ada di sampingmu apapun yang terjadi” Batinku berjanji.

Rumah kami selalu hangat. Dia memang laki-laki yang mempesona. Dia tetap memperlakukan aku penuh dengan kelembutan dan menenangkan. Aku luar biasa bahagia berada di sisinya.

Setiap pagi aku selalu membangunkan dia dan mempersiapkan semua kebutuhannya sendirian. Aku tak suka jika di rumah kami ada asisten rumah tangga meski sekarang kami sudah memiliki satu balita perempuan. Aku lebih memilih cuti sementara dari kantor yang memperkerjakan aku. Aku tak ingin kehilangan moment bersama satu balitaku dan laki-laki itu (suamiku).

Suamiku selalu mengatakan enak saat menikmati masakkanku. Meski sebelumnya aku sama sekali tak pernah melakukan pekerjaan itu. Aku mencoba belajar sebisanya untuk membuat makanan sehat untuk keluargaku.

Suamiku selalu mengerjakan apa saja yang sekiranya bisa dia kerjakan untuk meringankan pekerjaanku di rumah. Dia juga tak segan-segan membersihkan popok bayi dan menggendongnya saat balita kami menangis di larut malam dan aku sangat kelelahan. Aku tahu jika diapun sama lelahnya karena pekerjaan kantornya.

***

10 tahun usia pernikahan kami dan suamiku tetap memperlakukan aku seperti 10 tahun lalu. Dia tetap menenangkan dan mempesona. Aku mulai bekerja lagi. Aku tak ingin membebani suamiku untuk kebutuhan yang semakin bertambah. Suamiku tak menolak dan dia mendukungku.

“Sayang, sepertinya aku mau bekerja lagi”  Ucapku suatu pagi.

Dia menelan makanannya dan berkata penuh dengan kelembutan dan sangat membuatku sangat terayomi,    “aku akan mendukung keputusanmu itu sayang, pesanku kamu tidak boleh lupa akan tanggung jawab menjadi ibu dan istri”. Dia meremas tanganku dan lagi-lagi senyumnya itu membuatku semakin jatuh cinta.

“Terima kasih sayang, aku akan tetap berusaha menjadi Ibu yang baik untuk Seyla dan Reyhan, juga istri  yang baik untuk kamu sayang”. Aku mencubit tangannya manja.

Seperti biasa suamiku mengantar anak-anak ke sekolah dan aku mendaftar pekerjaan yang sudah bertahun-tahun aku tinggalkan demi keluarga kecilku. Kini aku bisa melakukan pekerjaan itu lagi tanpa terbebani apapun.

Aku menjalani kehidupanku dengan normal, merawat anak, mengurus suami, menjadi ibu rumah tangga dan juga bekerja di perusahaan air minum terbesar di Indonesia.

***

Setelah sekian waktu berjalan, aku merasa kesulitan membagi waktuku bertemu suamiku. Kelelahanku bertambah setelah aku bekerja di luar dan di rumah. Aku selalu tidur lebih awal  dan tak bertemu suamiku sementara paginya suamiku bergegas ke kantor dan akupun juga begitu. Aku merasa kehilangan banyak waktu untuk bermesraan dengan suamiku. Bersama anak-anak aku masih punya cukup waktu dan itu tidak masalah.

Malam itu aku menunggu suamiku dan menahan kantukku yang luar biasa. Sampai jam berapapun suamiku pulang aku menunggunya seperti malam yang sudah-sudah. Entah malam ini mengapa terasa begitu larut dan panjang. Aku tak tahan menahan mataku untuk tidak terpejam. Tapi aku terus mencoba membuka mataku lebar-lebar.

Suamiku membuka pintu dan aku langsung memeluknya. Aku melihat raut wajah keheranan di keremanggan.

“Aku sangat merindukanmu” Ucapku.

“Aku juga sangat merindukanmu, kamu kelihatan lelah tidurlah dulu, aku mau mandi” Dia mencium keningku dan membimbingku ke kamar tidur kami lalu menyelimuti tubuhku. Kemudian dia bersih-bersih diri.

Aku sudah sangat lelah dan tanpa menunggu lama mataku sudah terpejam. Sekilas aku menemukan titik kerinduan yang mendalam disudut matanya tapi dia tetap tenang dan tersenyum.

Malam-malam berikutnya berlalu begitu saja dan sama saja. Aku terlalu lelah dan dia terlalu larut saat pulang. Kami melupakan keinginan-keinginan sebagai suami istri. Aku merasa sangat bersalah tidak dapat memenuhi keinginannya yang tak pernah dia ungkapkan karena dia melihatku sudah cukup lelah. Dia selalu membiarkan aku tidur lebih dulu.

“Roy, kenapa kamu nggak bangunin aku saat kamu pulang? Kenapa membiarkan aku tidur?” Tiba-tiba amarahku meledak-ledak.

Dia hanya tersenyum dan menarik tanganku. Tubuhku jatuh di badannya. Air mataku mengalir. Dia mengelus rambutku masih dengan diam.

“Roy,,,,”

“Iya, sayang”

“Kenapa kamu sebegitunya, kita sudah menikah lebih dari 10 tahun kenapa kamu masih saja malu untuk mengungkapkan”

Suamiku memelukku erat, “Aku memcintaimu dan aku tak ingin membuatmu lebih lelah”

Sudah kuduga suamiku pasti tak ingin membebaniku untuk memenuhi kewajibanku. Dia terus menjaga perasaanku dan tak ingin menyakitiku. Aku bilang dia laki-laki yang sangat berhati-hati.

Bahkan dia menolak ajakkanku karena menurutnya aku terlalu lelah dan butuh istirahat.

***

Pernikahanku tak seharmonis dulu, kami sering bertengkar dari hal kecil yang biasanya hanyalah lelucon. Aku sering sekali terpancing emosi dan merasa tersinggung.

“Sayang, 3 hari aku meeting di Jakarta jaga anak-anak baik-baik ya”

Aku hanya diam dan mengangguk saja. Setelah suamiku dipromosikan naik jabatan dia semakin sering beralasan keluar kota. Pikiranku semakin mengira-ira.

“ah tidak, suamiku tak mungkin mencari kesenangan di luar sana” aku menenangkan diri sendiri.

“Iya sayang, hati-hati ya, setelah urusan selesai langsung pulang ya. Aku pasti akan sangat merindukanmu”.

Aku semakin terbiasa dengan ijinnya untuk bermalam di kota lain, aku memaklumi dengan jabatannya sekarang. Aku tetap menyiapkan apa saja yang dia perlukan. Aku mengantarnya ke Bandara dan aku terus menelponnya sepanjang hari.

Jauh darinya kini menjadi hal yang biasa. Tapi dia mengabaikan telponku bukanlah hal yang biasa dia lakukan. Aku mulai khawatir. Aku mulai memarahi dan mengomelinya.

“Kamu kemana aja si sayang, aku menelponmu pagi tadi dan kenapa baru menghubungiku larut malam begini” makiku.

“Maaf sehari tadi aku ketemu teman lamaku dan dia ngajak jalan. Aku lupa bawa ponsel” Nadanya masih tenang.

Aku tak bisa menerima alasannya, aku terus memarahinya dan memakinya. Aku merasa telah dibohongi. Entah mengapa aku lebih memilih  mendengarkan pikiranku ketika itu.

“Nggak usah hubungi aku sajalah, buang ponselmu jauh-jauh” Aku mematikan ponsel dan meninggalkan di bawah bantal. Dia terus menghubungiku tapi aku abaikan.

Aku masih sangat marah dengannya, bahkan saat dia pulang akupun tak menyambutnya. Sikapku berubah dingin.

“Aku nggak akan membuat kamu mengerti aku, tapi aku mencoba mengerti posisimu” Ucapnya suatu malam. Aku masih tidur membelakanginya. Dia memelukku dari belakang.


***


Suamiku semakin sering berpergian keluar kota, bahkan sampai berminggu-minggu. Itu sangat membuatku geram dan suka mengumpat. Aku sangat membencinya. Iya aku membencinya dan tak lagi mempercayainya.
Saat suamiku berpamitan akan pergi dengan alasan yang sama seperti sebelumnya, diam-diam aku mengikutinya. Aku terpaksa melakukan itu agar aku tahu sendiri apa yang dilakukan suamiku diluar sana. Jika dia tahu aku melakukan itu, dia pasti akan sangat terluka karena aku tak lagi mempercayainya.

Dia laki-laki yang mempesona dan tenang, tapi ada satu hal yang  selalu membuatku jengkel yaitu ketika dia terlalu sungkan untuk mengatakan apa saja yang dia rasakan dan terlalu berat untuk membaginya denganku.
Aku mengikuti langkahnya menuju sebuah rumah yan terletak tak jauh dari Bandara. Dia menyeret kopernya seorang diri. Pintu rumah itu terbuka dan ada seorang perempuan berambut lurus sebahu memeluknya dan mencium pipinya mesra. Hatiku bergetar emosiku memuncak. Ingin rasanya berlari dan menampar wanita itu. Lagi-lagi aku berusaha menahan diri.

Suamiku masuk ke dalam rumah itu dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi berikutnya. Aku mencoba menghubunginya dan dia abaikan. Aku sangat cemburu dan benar-benar aku mulai membenci laki-laki itu yang kini masih menjadi suamiku.

“Diam-diam kamu berselingkuh”

Hari berikutnya aku mengitai rumah itu, dan aku menemukan tawa dan senyum laki-lakiku yang lama aku rindukan. Akhir-akhir ini selama bersamaku tak pernah aku melihatnya sebahagia ini. Pikiranku semakin mengira-ira jika memang benar suamiku telah berkhianat.

Aku memutuskan tak melanjutkan pengintaianku dan memilih pulang. Dadaku sangat sesak dan masih tak percaya laki-laki yang sangat menenangkan itu berselingkuh dengan wanita lain yang kini telah buncit. Perempuan itu hamil.

Sempat aku memotretnya dan menyimpannya hingga laki-laki itu pulang. Semoga dia tetap tahu dimana dia harus pulang.

***

“Sudah cukup jelas, sekarang aku mau kita cerai” Ucapan yang seumur hidupku tak ingin aku ucapkan kini keluar lantang dari mulutku. Sangat lantang sampai membuat wajah suamiku tertekun dengan ekspresi serius.
“apa yang terjadi sampai kamu meminta cerai” Dia mencoba menenangkan aku.

“Nggak usah sok bego dan sok nggak tau apa-apa, aku nggak buta, aku nggak tuli, aku nggak ingin terus-menerus kamu bohongi” Aku melempar selembar foto yang sempat aku remas ke wajahnya.

Suamiku mengambilnya dan melihatnya penuh keseriusan. Wajahnya tidak kaget dan tidak merasa bersalah. Membuatku semakin yakin aku tepat mengambil keputusan itu.

“Syukurlah kamu mengerti sebelum aku ceritakan” Ucapnya pelan.

“Oh kamu mau cerita setelah perempuan itu bunting dan untuk mengakui anak itu kamu perlu persetujuan dariku. Semuanya terlambat dan aku akan minta cerai. Silahkan menikmati istri mudamu” Aku berlari ke kamar dengan uraian air mata.

“Sayang aku bisa jelaskan semuanya, ini bukan seperti yang kamu lihat” Suamiku masih dengan ketenangkan mencegahku.

Aku tak memperdulikan dia. Untuk pertama kalinya aku tak ingin mendengarkan dia. Tak ingin melihatnya.
Aku mengemasi barang-barangku dan juga barang anak-anak. Dengan dua koper aku meninggalkan rumah. Suamiku memegang tanganku kuat-kuat.

“Tolong jangan pergi dari sini, jika memang kamu tak ingin melihatku biarkan aku yang pergi”Ucapnya.

Aku masih diam ketika melihat suamiku sudah menenteng satu koper. Dia pasti akan pergi kerumah istri mudanya jadi tak masalah jika dia pergi dari sini. Sementara jika dia membiarkan aku pergi akan membuat dia kelihatan menelantarkan aku dan anak-anak kami. Itu sangat membuat dia tidak oke lagi. Aku tak lagi meronta.

“ Kamu nggak lihat kedua anak kita yang masih polos”

Aku melirik Seyla dan Reyhan yang menangis sesegukkan. Oh Tuhan aku sudah melakukan kesalahan besar membiarkan mereka menyaksikan kami bertengkar.

“Aku harap kamu bisa mendengarkan perasaanmu bukan pikiranmu, hubungi aku jika kamu sudah bisa mendengarkan perasaanmu” Dia melangkah meninggalkanku setelah mencium dan memeluk Seyla dan Reyhan.

Air mataku tumpah. Aku memeluk Seyla dan Reyhan dan menciumi bergantian.

***

Rasa cemburu itu sudah membuatku melupakan semua kebaikan, kenangan dan kebersamaan bersama laki-laki itu. Aku benar-benar ingin melupakan laki-laki itu. Aku sangat terluka dan kecewa. Tatapan laki-laki itu memenuhi pikiranku kemudian kutepis jauh-jauh. Itu hanyalah masa lalu yang harus aku lupakan. Dia telah menghianatiku, melukaiku dan tak jujur. Kesalahan yang sama sekali tak bisa aku ampuni.

Apa mungkin dulu memang dia bukan untukku, tiba-tiba rasa sesal itu menghantuiku. Seharusnya aku tetap diam dan terus mencintainya daripada aku mengungkapkan dan kini aku patah hati yang teramat dalam. Aku tak lagi bisa mempercayainya. Tanpa kepercayaan cinta ini semakin redup.

“Ma, Papa kok nggak pulang-pulang si?” Tanya Seyla suatu malam. Dia terlihat sangat kehilangan Papanya. Sepanjang hari mereka suka menghabiskan waktu bermain di ruang tamu.

“Sabar ya sayang, Papa lagi dinas” Aku mencoba menenangkan meski aku tahu Roy tak akan kembali ke rumah ini.

Aku semakin merasa bersalah ketika Reyhan sangat murung sepanjang hari dan tak mau makan. Bahkan saat tidur dia terus mengigau dan menyebut nama Papanya.

Aku benar-benar Stress. Mengapa ini terjadi? Mengapa harus laki-lakiku yang tergoda dengan perempuan itu.

Lagi-lagi kebencian itu muncul ketika aku menyebut perempuan itu. Aku tak akan mengingat mereka yang mungkin sekarang ini sedang bahagia dengan canda dan tawanya. Duduk berdua saling mengelus perut perempuan itu....

“aaaaaaakkkkkhhhhhhhhhhhhhhh” Teriakku garang.

Dua bulan aku tak menghubungi suamiku, suamiku menghubungi rumah dan selalu anak-anak yang mengangkatnya. Mereka sangat bahagia setelah menerima telepon itu. Aku sangat merasakan betapa mereka sangat merindukan Papanya.

Apa aku memutuskan berdamai saja dan menerima?

 Tidak, aku tak akan mungkin membiarkan dia mendapatkan semuanya yang dia mau sementara aku menderita. Lagi-lagi aku membesarkan egoku dan melukai anak-anakku.

“Ma, apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar nggak sanggup menerima ini semua. Aku sangat mencintainya dan mengapa dia melukaiku?” Aku menangis dipangguan Mamaku.

Mama mengelus-elus rambutku. “Sebaiknya kamu dengarkan dia dulu, jangan langsung percaya dengan apa yang kamu liat”. Mama membujukku untuk mendengarkan dia dan setidaknya aku berinisiatif untuk menelpon.

Perasaan cinta yang mendalam kemudian dikhianati itu benar-benar membuatku sulit melupakan kejadian itu dan aku sangat membenci suami. Aku tak ingin mendengarkan dia karena aku yakin dengan pikiranku aku akan terluka.

“Dia laki-laki yang menenurut Mama baik dan tidak mungkin mengkhianatimu”. Mama masih saja memujinya. Aku hanya diam.

“Coba kamu ingat betapa dia menyayangi kamu, mencintai kamu dan memperlakukan kamu dengan sangat baik dan hormat. Bukannya dia laki-laki yang dapat dipercaya dan tak mungkin melukaimu?” Aku hanya diam dan seolah telingaku tuli.

***

Berbulan-bulan sudah aku menutup mataku, telingaku dan pikiranku untuk tak mendengarkan dia lagi.  Tepatnya aku terlalu takut dia semakin melukaiku sehingga memilih untuk itu. Iya aku sangat merasa terluka dan tak ingin membuatnya lebih dalam. Aku mencoba memulai hidup baru meski semuanya tak muda. Aku terlalu mencintainya. Sisi lain aku ingin mulai membencinya.

Anakku sakit dan aku tetap bersikukuh untuk tidak melibatkan dia. Aku bisa mengurus anakku sendiri. Entahlah mengapa aku begitu tega membiarkan dia jauh dari anak-anak. Apa mungkin aku terlalu membesarkan egoku sehingga anak-anakku juga merasakan dampaknya.

“Mamaaaa, Seyla kangen Papa, Seyla mau ketemu Papa” Seyla terus menangis dan badannya panas. Aku terus menenangkan dan membuat alasan agar mereka tak lagi mencemaskan Papanya.

“Maaaaaaaaaa, Mamaaaa di tivi ada Papa” Reyhan berteriak dari ruang Tivi dengan histeris. Awalnya aku tak memperdulikan tapi ah aku memelupakan gengsiku, aku melihat di Tivi toh tidak masalah.

Aku berlari menuju ruang Tivi yang kemudian diikuti Seyla yang badannya masih panas tapi sangat berambisi.

Mataku melotot tajam saat laki-lakiku bersama perempuan itu yang pernah kulihat serta kakak laki-laki suamiku muncul di infotaiment.

Dewi Kirana yang sekarang telah melahirkan anak pertamanya dari pernikahan diam-diam bersama pengusaha asal Manado telah muncul kembali setelah berbulan-bulan mengasingkan diri.

Pengusaha yang ternyata mengorupi sejumlah aset perusahaan ternama di negeri ini telah ditangkap dan mendiami rutan di Manado. Dewi Kirana sangat terpukul. Untung saja ada laki-laki yang setia menemaninya sampai pasca melahirkan. Laki-laki itu tidak lain tidak bukan adik dari suaminya.

Kakiku  lemas. Aku mencari posisi untuk duduk menenangkan diri. Apa aku tak salah dengar. Ah biasanya Infotaiment bulsit semata.

Aku mencoba mengabaikan meski sebenarnya aku khawatir, iya aku sangat mengkhawatirkan laki-lakiku juga terlibat kasus kakaknya.

Aku meraih ponsel dan menelponnya. Lama dia mengangkat telponku.

Hatiku semakin berdebar-debar.

“Haloo,sayang, lama sudah kutunggu akhirnya menelpon juga. Bagaimana kabarmu dan anak-anak? Aku rindu” Seperti tidak ada kesempatan bicara dia langsung berbicara panjang.

Suara itu benar-benar aku rindukan meski aku menepisnya jauh-jauh ketika itu. Kini es yang menempel di tubuhku terasa meleleh.

“Baik, anak-anak juga baik hanya beberapa kali mereka panas bergantian. Kamu apa kabar?, maafkan aku tidak mendengarkan kamu waktu itu?”. Aku berharap suamiku memaafkanku yang terlalu egois dan mencari bahagia sendiri.


“Aku baik-baik saja sayang, aku sudah memaafkanmu jauh sebelum kamu minta maaf. Apa kamu sudah mendengarkan perasaanmu dan memintaku pulang karena kamu juga merindukanku”. Laki-lakiku menggodaku yang membuatku merasa malu dan memerah.

Aku masih malu mengakui perasaanku.

“Aku pengin kamu cepat pulang”

“Baik sayang, aku akan pulang”

Sehari setelah aku menelponnya suamiku telah berdiri di depan pintu. Aku dan anak-anak menyambutnya dengan suka cita. Aku memeluknya erat seakan tak ingin melepaskan lagi. Dia membalas pelukkanku penuh dengan ketenangan yang selama ini hilang.

Aku membiarkan dia duduk dan menikmati teh manis dan kue kacang kesukaannya. Aku mendengarkan dia dengan seksama. Penjelasan yang sudah lama dia ingin bicarakan tapi aku selalu menolak untuk mendengarkannya kini aku perhatikan kata-demi-kata seperti biasanya. Dia terlihat sangat lega dan dipancaran matanya sangat terlihat bahagia. Aku bersyukur telah menemukan titik kebahagiaan lagi di matanya.

Aku memang terlalu egois dan keras kepala. Aku selalu tak mau mendengarkan.

“ Maaf jika selama ini aku membohongimu, karena aku belum menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan itu, hingga kamu akhirnya tahu .  .  . “

Aku menutup bibirnya dengan jari telunjukku. Aku memeluknya. “ Aku yang salah, kenapa aku nggak memberimu kesempatan bicara”

Seketika itu air mata kami tumpah. Kami saling memeluk dengan kerinduaan yang mendalam. Dia tetap laki-laki yang mempesona, dia laki-laki yang bisa membuatku nyaman, dia memiliki banyak peran penting dihidupku tapi saat dia melakukan satu kebohongan aku sangat-sangat membencinya. Kurasa aku memang salah telah melakukan itu.

Keegoisanku membuatku menutup telingaku untuk mendengarkan serta hatiku tak lagi bisa melihat kebaikkannya keseluruhan dan mengorbankan anak-anakku. Oh Tuhan mengapa aku bisa sebegitu teganya dengan orang-orang yang aku kasihi.

























8 komentar:

  1. You should be a part of a contest for one of the highest quality websites on the internet.
    I'm going to highly recommend this blog!

    Here is my blog post - http://www.ass-augsburg-ev.de/hier-finden-sie-einen-nuetzlichen-trick-fuer-das-spiel

    BalasHapus
  2. Kerenn ky..
    Ini ciptaan sendiri atau gmana??
    :)

    BalasHapus
  3. Hana : makasih... iya ciptaan sendiri. kalo karya orang lain pasti aku cantumkan link. menghargai si pengarang ;)

    BalasHapus
  4. Nice blog here! Also your web site loads up fast!
    What web host are you using? Can I get your affiliate link to
    your host? I wish my site loaded up as quickly
    as yours lol

    Feel free to surf to my weblog ... electronic slots

    BalasHapus
  5. We are a gaggle of volunteers and starting a new scheme in
    our community. Your site provided us with useful info to work on.
    You've performed a formidable task and our entire community shall be thankful to you.

    my blog post: www.startaid.com

    BalasHapus
  6. Panjang amat kak.. hehehe :13

    BalasHapus
  7. Neat blog! Is your theme custom made or did you download it from somewhere?
    A theme like yours with a few simple tweeks would really make my blog shine.
    Please let me know where you got your theme. Many thanks

    Feel free to visit my web-site :: book of ra tricks cheats

    BalasHapus
  8. cemburu itu baik tandanya sayang tapi terlalu berlebihan malah bisa berakibat buruk seperti putus atau lainnya.

    BalasHapus

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang