Keluarga
yang pernah menjadi kaya raya itu sekarang tinggal di sebuah rumah sederhana di
pinggiran kota. Rumah yang jauh lebih sederhana dari rumah mereka sebelumnya. Rumah
dari batu bata tanpa cat dan genting yang mulai rapuh tetapi mereka tetap
menjadi keluarga yang bahagia dengan segala yang dimilikinya sekarang. Suatu
ketika Santi anak perempuannya dan Sandy anak laki-lakinya mengalami kecelakaan
maut saat mengendari mobil peninggalan ayahnya. Mobil yang mereka naiki
menabrak sebuah beton batas marka jalan dan terjun ke jurang. Entah karena
remnya bolong atau kelalaian ataukah karena ketebalan kabut.
“Ibu pasti senang mendengar kabar ini ya dek” Ucap Sandy sambil terus memacu gas menelusuri jalan
yang berliku dipinggir jurang curam. Sandy sangat tidak sabar sampai di rumah
dan menyampaikan kabar bahagia atas diterimanya ia di suatu perusahaan besar.
“iya kak, kakak menjadi manager di
perusahaan besar itu impian ibu dan juga ayah, sayang ayah nggak bisa
menyelamati kakak secara langsung” Raut wajah Santi seketika berubah sendu. Tangannya
meremas-remas baju bagian bawah.
“Sudahlah dek, ayah pasti bahagia di
sana? Kamu harus cepat menyelesaikan kuliahmu dan bekerja untuk membahagiakan
ibu serta tinggal di rumah yang lebih layak” Sandy mengelus kepala adiknya yang berbalut jilbab
dengan penuh kasih sayang.
Mobil terus
melaju. Kabut semakin tebal di permukaan jalan. Lampu tak mampu lagi menyorot 5
m dari pandangan mata. Sandy memperlambat laju mobilnya.
“Kak, apa sebaiknya kita berhenti aja” Usul Santi cemas. Duduknya tak lagi
nyaman, kerut dahinya tampak jelas. Keringat dinginnya bercucuran.
“Tenang aja dek, kakak pelan-pelan
kok” Sandy tak
pengiyakan usul adiknya itu. Mobil melaju menuruni dan menaiki jalan yang sempit dan berliku.
“Awaaaaaaaaaaasss
kaaaaaaaaaaaaakkkkkkk” Kedua tangan santi memegangi jok dan berteriak panik, wajahnya pucat dan
seluruh tubuhnya yang berbalut baju muslim itu gemetaran. Sandy membanting
sentir dan berusaha tenang meski di hadapannya terbentang jurang yang hanya
berjarak 1 inci dari roda mobilnya. Mobilnya tergonjang dasyat.
“Remnya kak, Injak...Injak Sekarang” Santi terus berteriak resah.
Sandy sudah
menginjak remnya sebebelum Santi berteriak kepanikan, namun Rem sama sekali
tidak membantu banyak setelah roda melaju cepat dari atas bukit. Sandy
memperlambat mobilnya sebisa mungkin.
“Dalam hitungan ketiga cepat kamu
keluar dari mobil dek” Teriak Sandy cepat.
Santi terus
berpegangan erat di joknya dan pintu mobil.
“Tidak kak, kita hadapi bersama”
“Aku bilang cepat,” Bentak Sandy setengah marah.
Santi
akhirnya mengiyakan perintah kakaknya, dia yakin itu keputusan terbaik. Tanpa
ragu lagi Santi membuka pintu mobil dengan susah payah.
“satu....dua...tiga...” Setelah pintu terbuka Sandy
mendorong tubuh mungil Santi. Santi terguling-guling dan kakinya membentur
tumpukan kayu yang berjejer dipinggir jalan. Salah satu kakinya tertimpa kayu
hingga membuatnya pingsan. Sementara mobilnya terus melaju jauh jatuh ke jurang
dalam keadaan terbalik.
Sandy
meninggal dalam kecelakaan maut itu.
Mayatnya
ditemukan sehari setelah kejadian berlangsung oleh seorang penebang pohon.
Beruntung Santi masih bisa diselamatkan meski harus mengalami kecacatan.
Santi tak
pernah menyesali keadaanya saat ini, dia sudah sangat beruntung masih diberi
kesempatan menemani ibunya berkat jiwa besar kakaknya yang telah menyelamatkan
dia dalam kecelakaan itu. Sejak saat itu
dia berjanji akan terus menjaga ibunya dan membuat ibunya bahagia sesuai pesan
terakhir kakaknya sebelum kecelakaan itu terjadi.
***
Dengan
telaten ibunya terus merawat Santi yang belum bisa menggunakan kakinya. Santi
merasa sangat berdosa telah membebani ibunya dengan keadaanya saat ini. Santi
terus bertekat untuk bisa berjalan lagi. Meski tanpa pengobatan medis, Santi
bisa berjalan lagi walaupun tidak sempurna seperti dulu. Dia bisa berjalan
kembali dengan kaki kanannya yang masih pincang.
Dia sangat
bersyukur.
“Bu, aku putuskan berhenti kuliah
dulu, dan aku mau kerja” Kata Santi yang sedang asik mencuci baju dan ibunya sibuk memasak di
dapurnya yang kecil.
“Kenapa, ibu usahain bisa bayar
kuliah kamu nak”
wajahnya kemudian berubah sedih.
“Nggak apa-apa bu, nanti aja” Santi memaksa untuk berhenti dari
kuliahnya yang sudah berjalan di tahun kedua itu
“Ya sudah lah, apapun keputusan kamu
semoga yang terbaik”
akhirnya ibunya mengiyakan meskipun sebenarnya tidak setuju.
Santi tau betul perekonomian di
keluarganya yang semakin sulit, dia nggak mungkin memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah
untuk makan saja belum tentu ada.
Setelah
menyelesaikan cuciannya santi berpakaian rapi dan bergegas mencari pekerjaan
untuk membantu ibunya. Senyumnya sangat sumringah dan langkah kakinya cepat
meskipun dengan terpincang-pincang membuat orang yang memandangnya prihatin.
Santi bukan
gadis yang ingin dikasihani banyak orang dengan keadaanya sekarang ini. Dia ingin menjadi gadis biasa yang tidak
dipandang sebelah mata.
“Maaf ya di sini tidak menerima
pelayan cacat kayak Anda” Bentak seorang wanita berbaju seksi dan berbibir merah merona.
“Maaf bu, permisi” Santi tertunduk dan pergi dari
tempat itu.
Semangatnya
hampir habis, sudah berkali-kali melamar pekerjaan selalu saja ditolak, dan
penolakkan yang sangat menyakitkan untuk Santi. Santi tak putus asa. Dia
memutar otak untuk tetap bekerja dan menghasilkam uang demi ibunya.
Langkahnya
terhenti....
“Loundry Rapika” Santi membaca sebuah papan berwarna
pink dengan aksesoris bunga-bunga beragam warna. Sangat Menarik.
Santi
bergegas pulang dengan langkah dua kali lebih semangat dari awal keluar
rumahnya. Santi terus tersenyum dan dalam hatinya terus memanjatkan doa agar
usahanya lancar dan laris.
***
Santi sudah
dua minggu menjalani bekerjaan barunya sebagai tukang cuci pakaian. Setiap hari
dia berkeliling kampung mengambil pakaian-pakain kotor yang hendak di cucinya.
Belum banyak yang tau jika dia menerima cuci pakaian karena letak rumahnya yang
jauh dari rumah penduduk. Dia rela berjalan jauh demi sepotong kain kotor.
“Nak, apa kamu nggak capek setiap
hari jalan terus mengelilingi kampung” Ucap ibunya ketika itu. Dia sangat khawatir dengan keadaan
kaki anaknya.
“Nggak bu, aku senang menjalan ini
semua. Aku mempunyai banyak teman dan juga itung-itung melatih kakiku berjalan
normal” Santi terus
menjemuri pakaianya dengan ceria. Ibunya tersenyum kecil.
Tak ada yang lebih bahagia selain
melihat anaknya bahagia.
Siang itu
hujan turun dengan lebatnya, Santi berlari mengambili pakaiannya. Kakinya tak
sekuat dulu sehingga dia tak cepat mengangkat pakaiannya. Semua pakaiannya
basah kuyub. Dia berlari ke teras rumahnya dan memeras satu persatu pakaian
tanpa mengeluh.
Ditengah
derasnya air hujan Santi melihat seorang lelaki berteduh di bawah pohon pisang.
Santi menengok sekitar rumahnya tidak ada seorangpun dan seluruh pintu
tertutup.
“Hai, kau...berteduhlah di rumah
kami” Teriak Santi
sambil melambaikan tangan.
Laki-laki
itu berlari dengan kedua tangannya mengangkat tas untuk menutupi kepalanya.
Badannya basah kuyup. Bibirnya biru dan tangannya terlihat kaku dan berkeriput.
“Duduklah mas” Santi mepersilakan lelaki itu duduk
di teras rumahnya.
Dengan kaki
pincangnya dia bergegas masuk ke dalam rumahnya dan memberitahu ibunya jika ada
lelaki yang kehujanan. Ibunya segera membuatkan secangkir teh dan menggoreng
kembali pisang jualannya. Sementara Santi menyiapkan pakaian milik kakaknya dan
handuk yang sekiranya pantas untuk lelaki muda itu.
“Ini milik kakak laki-laki saya dulu,
pakailah” Santi
menyodorkan kemeja bergaris dan celana kain yang hangat kepada laki-laki itu.
Laki-laki
itu menerimanya dan menumpang kamar mandi untuk mengganti pakaiannya yang basah
dengan pakaian yang hangat.
“Terima kasih ya “ Laki-laki itu duduk dihadapan santi
sambil tersenyum. Santi membalas senyumnya.
“Silahkan nak dicicipi” Ibu Santi keluar rumahnya dengan
membawa secangkir teh dan sepiring
pisang goreng hangat.
“Saya sampai bingung harus berkata
apa selain terima kasih banyak” Ucap laki-laki itu. Laki-laki itu menyantap pisang goreng
dengan lahapnya. Sangat terlihat jelas jika dia sangat lapar.
Akhirnya dengan secangkir teh dan
pisang goreng mereka terlibat obrolan yang panjang. Santi bercerita mengenahi
kehidupannya. Si laki-laki mendengarkan dengan seksama. Kemudian laki-laki itu
juga bercerita tentang kehidupannya. Santi dan Ibunya mendengarkan dan si ibu
menasehati dengan bijak. Obrolan itu tak terasa berlangsung lama hingga larut
malam dan hujan tak lagi turun.
“Terima kasih untuk semuanya ini ya
bu, mba, saya tidak tahu harus membalasnya dengan apa, saya pamit pulang” Ucap laki-laki itu menyalami Santi
dan Ibunya.
Laki-laki
itu sudah pergi. Tapi bayangannya belum benar-benar pergi dari hati Santi.
Santi sangat terkesima dengan lelaki yang sederhana itu. Terlebih lelaki itu tidak melihat kekurangnnya sebagai kekurangan
tetapi sebagai kelebihannya.
***
Waktu
semakin berlalu, Ibunya semakin tua dan tak lagi sekuat dulu untuk menjual
gorengan ke Pasar. Santi bekerja lebih keras lagi untuk menopang kebutuhan
kesehariaanya. Dia tak pernah lelah. Satu yang membuat Santi bersedih, dia
belum bisa membahagiakan ibunya. Belum memberikan seorang cucupun untuk ibunya.
Di sudut matanya yang terlihat semakin tua itu terbesit keinginan untuk
menimbang seorang cucu.
Santi
menitikan air matanya.
Sejak
kejadian itu Santi tak lagi menjalin hubungan dengan laki-laki.
“Apa yang kamu lakukan dengan
perempuan itu mas”
Suaranya terdengar lirih dan perih ketika melihat kekasihnya berada dipelukan
seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya. Bibirnya merona merah dan
sedikit gelepotan di pipi, rambutnya berantakan dan roknya yang pendek robek
sedikit.
“Bukan urusan kamu, Ti, sekarang kita
sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi” Bentak mas Dedy dengan galak. Matanya menatap tajam bukan
tatapan marah tetapi tatapan ketidaksukaan.
“Mas, aku mencintamu” Ucap santi meraih tangan Mas Dedy.
Mas Dedy mengibaskan hingga tubuh Santi oleng.
“Dengar baik-baik, kita Putus. Aku
tak mau lama-lama dengan perempuan cacat sepertimu nanti aku ketularan cacat” Kata-kata Mas Dedy semakin meninggi
seperti orang mabok.
Santi
mencoba menahan air matanya, “Sadar mas,
ayo kita pulang”.
“Dasar perempuan cacat pergi kau” Perempuan itu nimbrung dengan
tubuhnya yang gontai menorong tubuh santi.
“Pergi saja cepat, aku
tak mau melihatmu lagi” gertak Mas Dedy.
Dengan derai
air mata dia berlari meninggalkan laki-lakinya dengan perempuan itu.
Lamunannya
berhenti ketika dia mendengar batuk ibunya yang semakin menjadi. Ibunya memang
sudah lama sakit dan berbaring ditempat tidur dengan kasurnya yang tipis. Tak
ada perawatan medis untuknya. Uangnya tak pernah cukup untuk membawa ke dokter
apalagi rumah sakit.
Air matanya
mengalir ketika didapati darah ditangan ibunya. Ibunya tak henti batuk-batuk
dan disertai darah. Tubuhnya panas dan lemah. Santi semakin panik dan cemas.
Pikiran-pikiran buruk yang menghantui dirinya ditepisnya.
“Tolong...Tolong.. Ibuku perlu ke
rumah sakit” Santi
berteriak di depan rumahnya.
Tetangganya
berkerumun dan menemui ibu santi yang terbaring lemah. Mereka mengangkat
bersama-sama dan dibawa ke rumah sakit.
Perawat
menyambut dengan terburu-buru melihat darah berlumuran di pakaian dan tangan
ibunya. Seperti korban pembunuhan. Santai mengikuti ibunya yang didorong
perawat.
“Mba lebih baik Anda mengurus
atministrasinya supaya ibumu cepat ditangani” Perintah salah satu perawat yang memiliki alis tebal
dan badan sedikit gembal.
“Baik suster”
Santi berlari
menuju ruang atministasi. Kakinya masih pincang dan tertatih-tatih. Setiap mata
yang memandangnya tak dihiraukan lagi. Dalam pikirannya hanya ada ibunya saja.
“Suster, tolong saya. Tolong berikan
penangan untuk ibu saya secepatnya saya janji akan melunasinya segara” Santi memohon dengan harapan besar.
“Maaf mba, anda harus melunasinya
sekarang. Baru ibu kamu akan mendapatkan penangannya yang maksimal” Suster itu tetap bersikukuh.
“Tolong saya mba” Kali ini Santi benar-benar memelas
demi ibunya. Ibunya kini benar-benar sekarat.
“Maaf mba, saya tidak bisa membantu
banyak”
Air mata
santi bercucuran, kakinya lemas, pandangannya mulai gelap, tapi dia mencoba
kuat dan bertahan.
“Suster semua biayanya ibu itu saya
tanggung dan tolong pindahkan di Ruang satu” Ucap Lelaki bertubuh besar mengenakan kacamata dan
jas putih serta stetoskop di lehernya.
“Baik Dok”
Santi
mencium tangan dokter muda itu dan terus mengucapkan terima kasih. Tubuhnya
semakin ringan seperti ada kekuatan baru menyuplai tubuhnya.
Santi
menunggu ibunya di depan pintu ruangan dimana ibunya dirawat. Mulutnya terus
mengucapkan doa dan berdzikir. Pintu tak segera dibuka. Hati santi semakin
cemas, detak jantungnya tak beraturan.
Dia kemudian
duduk untuk menenangkan diri dan melanjutkan doanya.
“Selamat mba, Ibu sudah melewati masa
kritisnya untung cepat dibawa ke rumah sakit” Dokter muda tadi menyalaminya dan terlihat ada
ketulusan terpancar dimatanya.
“Terima kasih dok, saya sangat
berhutang budi dengan Anda. Saya janji akan segera melunasi biaya pengobatan
ibu saya” Ucapnya
penuh semangat.
“Terima kasih kembali
mba, mba sudah membayarnya 7 Tahun lalu” Dokter muda itu tersenyum sambil menepuk pundak
santi.
Santi
memandang tak mengerti maksud dokter muda itu.
Mereka duduk
dan mengobrol jika dokter muda itulah yang dia tolong saat hujan lebat dan
tidak ada tempat berteduh. Santi sangat
tak percaya bahkan tak ingat dengan lelaki yang pernah dia tolong.
Ibu Santi
mulai normal kembali, komplikasi paru dan jantungnya sudah mulai membaik.
Santai sangat bahagia.
“Bu, Saya lelaki yang
pernah ibu beri secangkir teh dan sepiring pisang goreng” Dokter muda mencium tangan ibu Santi
dengan air matanya menetes di tangan si Ibu.
Santi
tersenyum bahagia dan berterima kasih Kepada Tuhan...
“Maukah kamu menikah
denganku dan menjadi ibu untuk anak-anakku” Ucap Dokter muda itu di hadapan
Ibunya santi.
Santi
mengangguk dan meneteskan air mata. Secangkir teh dan pisang gorengnya telah
mempertemukan dia dengan jodohnya.
0 komentar:
Posting Komentar