Senin, 04 Maret 2013

Cerpen *Secangkir Teh Hangat dan Pisang Goreng*


Keluarga yang pernah menjadi kaya raya itu sekarang tinggal di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah yang jauh lebih sederhana dari rumah mereka sebelumnya. Rumah dari batu bata tanpa cat dan genting yang mulai rapuh tetapi mereka tetap menjadi keluarga yang bahagia dengan segala yang dimilikinya sekarang. Suatu ketika Santi anak perempuannya dan Sandy anak laki-lakinya mengalami kecelakaan maut saat mengendari mobil peninggalan ayahnya. Mobil yang mereka naiki menabrak sebuah beton batas marka jalan dan terjun ke jurang. Entah karena remnya bolong atau kelalaian ataukah karena ketebalan kabut.

“Ibu pasti senang mendengar kabar  ini ya dek” Ucap Sandy sambil terus memacu gas menelusuri jalan yang berliku dipinggir jurang curam. Sandy sangat tidak sabar sampai di rumah dan menyampaikan kabar bahagia atas diterimanya ia di suatu perusahaan besar.

“iya kak, kakak menjadi manager di perusahaan besar itu impian ibu dan juga ayah, sayang ayah nggak bisa menyelamati kakak secara langsung” Raut wajah Santi seketika berubah sendu. Tangannya meremas-remas baju bagian bawah.

“Sudahlah dek, ayah pasti bahagia di sana? Kamu harus cepat menyelesaikan kuliahmu dan bekerja untuk membahagiakan ibu serta tinggal di rumah yang lebih layak” Sandy mengelus kepala adiknya yang berbalut jilbab dengan penuh kasih sayang.

Mobil terus melaju. Kabut semakin tebal di permukaan jalan. Lampu tak mampu lagi menyorot 5 m dari pandangan mata. Sandy memperlambat laju mobilnya.

“Kak, apa sebaiknya kita berhenti aja” Usul Santi cemas. Duduknya tak lagi nyaman, kerut dahinya tampak jelas. Keringat dinginnya bercucuran.


“Tenang aja dek, kakak pelan-pelan kok” Sandy tak pengiyakan usul adiknya itu. Mobil melaju menuruni  dan menaiki jalan yang sempit dan berliku.

“Awaaaaaaaaaaasss kaaaaaaaaaaaaakkkkkkk” Kedua tangan santi memegangi jok dan berteriak panik, wajahnya pucat dan seluruh tubuhnya yang berbalut baju muslim itu gemetaran. Sandy membanting sentir dan berusaha tenang meski di hadapannya terbentang jurang yang hanya berjarak 1 inci dari roda mobilnya. Mobilnya tergonjang dasyat.

“Remnya kak, Injak...Injak Sekarang” Santi terus berteriak resah.

Sandy sudah menginjak remnya sebebelum Santi berteriak kepanikan, namun Rem sama sekali tidak membantu banyak setelah roda melaju cepat dari atas bukit. Sandy memperlambat mobilnya sebisa mungkin.
“Dalam hitungan ketiga cepat kamu keluar dari mobil dek” Teriak Sandy cepat.

Santi terus berpegangan erat di joknya dan pintu mobil.

“Tidak kak, kita hadapi bersama”

“Aku bilang cepat,” Bentak Sandy setengah marah.

Santi akhirnya mengiyakan perintah kakaknya, dia yakin itu keputusan terbaik. Tanpa ragu lagi Santi membuka pintu mobil dengan susah payah.

“satu....dua...tiga...” Setelah pintu terbuka Sandy mendorong tubuh mungil Santi. Santi terguling-guling dan kakinya membentur tumpukan kayu yang berjejer dipinggir jalan. Salah satu kakinya tertimpa kayu hingga membuatnya pingsan. Sementara mobilnya terus melaju jauh jatuh ke jurang dalam keadaan terbalik.

Sandy meninggal dalam kecelakaan maut itu.

Mayatnya ditemukan sehari setelah kejadian berlangsung oleh seorang penebang pohon. Beruntung Santi masih bisa diselamatkan meski harus mengalami kecacatan.

Santi tak pernah menyesali keadaanya saat ini, dia sudah sangat beruntung masih diberi kesempatan menemani ibunya berkat jiwa besar kakaknya yang telah menyelamatkan dia dalam kecelakaan itu. Sejak saat itu dia berjanji akan terus menjaga ibunya dan membuat ibunya bahagia sesuai pesan terakhir kakaknya sebelum kecelakaan itu terjadi.

***

Dengan telaten ibunya terus merawat Santi yang belum bisa menggunakan kakinya. Santi merasa sangat berdosa telah membebani ibunya dengan keadaanya saat ini. Santi terus bertekat untuk bisa berjalan lagi. Meski tanpa pengobatan medis, Santi bisa berjalan lagi walaupun tidak sempurna seperti dulu. Dia bisa berjalan kembali dengan kaki kanannya yang masih pincang.

Dia sangat bersyukur.

“Bu, aku putuskan berhenti kuliah dulu, dan aku mau kerja” Kata Santi yang sedang asik mencuci baju dan ibunya sibuk memasak di dapurnya yang kecil.

“Kenapa, ibu usahain bisa bayar kuliah kamu nak” wajahnya kemudian berubah sedih.

“Nggak apa-apa bu, nanti aja” Santi memaksa untuk berhenti dari kuliahnya yang sudah berjalan di tahun kedua itu

“Ya sudah lah, apapun keputusan kamu semoga yang terbaik” akhirnya ibunya mengiyakan meskipun sebenarnya tidak setuju.

Santi tau betul perekonomian di keluarganya yang semakin sulit, dia nggak mungkin memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah untuk makan saja belum tentu ada.

Setelah menyelesaikan cuciannya santi berpakaian rapi dan bergegas mencari pekerjaan untuk membantu ibunya. Senyumnya sangat sumringah dan langkah kakinya cepat meskipun dengan terpincang-pincang membuat orang yang memandangnya prihatin.

Santi bukan gadis yang ingin dikasihani banyak orang dengan keadaanya sekarang ini. Dia ingin menjadi gadis biasa yang tidak dipandang sebelah mata.

“Maaf ya di sini tidak menerima pelayan cacat kayak Anda” Bentak seorang wanita berbaju seksi dan berbibir merah merona.

“Maaf bu, permisi” Santi tertunduk dan pergi dari tempat itu.

Semangatnya hampir habis, sudah berkali-kali melamar pekerjaan selalu saja ditolak, dan penolakkan yang sangat menyakitkan untuk Santi. Santi tak putus asa. Dia memutar otak untuk tetap bekerja dan menghasilkam uang demi ibunya.

Langkahnya terhenti....

“Loundry Rapika” Santi membaca sebuah papan berwarna pink dengan aksesoris bunga-bunga beragam warna. Sangat Menarik.

Santi bergegas pulang dengan langkah dua kali lebih semangat dari awal keluar rumahnya. Santi terus tersenyum dan dalam hatinya terus memanjatkan doa agar usahanya lancar dan laris.

***

Santi sudah dua minggu menjalani bekerjaan barunya sebagai tukang cuci pakaian. Setiap hari dia berkeliling kampung mengambil pakaian-pakain kotor yang hendak di cucinya. Belum banyak yang tau jika dia menerima cuci pakaian karena letak rumahnya yang jauh dari rumah penduduk. Dia rela berjalan jauh demi sepotong kain kotor.


“Nak, apa kamu nggak capek setiap hari jalan terus mengelilingi kampung” Ucap ibunya ketika itu. Dia sangat khawatir dengan keadaan kaki anaknya.

“Nggak bu, aku senang menjalan ini semua. Aku mempunyai banyak teman dan juga itung-itung melatih kakiku berjalan normal” Santi terus menjemuri pakaianya dengan ceria. Ibunya tersenyum kecil.

Tak ada yang lebih bahagia selain melihat anaknya bahagia.

Siang itu hujan turun dengan lebatnya, Santi berlari mengambili pakaiannya. Kakinya tak sekuat dulu sehingga dia tak cepat mengangkat pakaiannya. Semua pakaiannya basah kuyub. Dia berlari ke teras rumahnya dan memeras satu persatu pakaian tanpa mengeluh.

Ditengah derasnya air hujan Santi melihat seorang lelaki berteduh di bawah pohon pisang. Santi menengok sekitar rumahnya tidak ada seorangpun dan seluruh pintu tertutup.

“Hai, kau...berteduhlah di rumah kami” Teriak Santi sambil melambaikan tangan.

Laki-laki itu berlari dengan kedua tangannya mengangkat tas untuk menutupi kepalanya. Badannya basah kuyup. Bibirnya biru dan tangannya terlihat kaku dan berkeriput.

“Duduklah mas” Santi mepersilakan lelaki itu duduk di teras rumahnya.

Dengan kaki pincangnya dia bergegas masuk ke dalam rumahnya dan memberitahu ibunya jika ada lelaki yang kehujanan. Ibunya segera membuatkan secangkir teh dan menggoreng kembali pisang jualannya. Sementara Santi menyiapkan pakaian milik kakaknya dan handuk yang sekiranya pantas untuk lelaki muda itu.

“Ini milik kakak laki-laki saya dulu, pakailah” Santi menyodorkan kemeja bergaris dan celana kain yang hangat kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu menerimanya dan menumpang kamar mandi untuk mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian yang hangat.

“Terima kasih ya “ Laki-laki itu duduk dihadapan santi sambil tersenyum. Santi membalas senyumnya.

“Silahkan nak dicicipi” Ibu Santi keluar rumahnya dengan membawa secangkir teh dan sepiring pisang goreng hangat.

“Saya sampai bingung harus berkata apa selain terima kasih banyak” Ucap laki-laki itu. Laki-laki itu menyantap pisang goreng dengan lahapnya. Sangat terlihat jelas jika dia sangat lapar.

Akhirnya dengan secangkir teh dan pisang goreng mereka terlibat obrolan yang panjang. Santi bercerita mengenahi kehidupannya. Si laki-laki mendengarkan dengan seksama. Kemudian laki-laki itu juga bercerita tentang kehidupannya. Santi dan Ibunya mendengarkan dan si ibu menasehati dengan bijak. Obrolan itu tak terasa berlangsung lama hingga larut malam dan hujan tak lagi turun.

“Terima kasih untuk semuanya ini ya bu, mba, saya tidak tahu harus membalasnya dengan apa, saya pamit pulang” Ucap laki-laki itu menyalami Santi dan Ibunya.

Laki-laki itu sudah pergi. Tapi bayangannya belum benar-benar pergi dari hati Santi. Santi sangat terkesima dengan lelaki yang sederhana itu. Terlebih lelaki itu tidak melihat kekurangnnya sebagai kekurangan tetapi sebagai kelebihannya.

***

Waktu semakin berlalu, Ibunya semakin tua dan tak lagi sekuat dulu untuk menjual gorengan ke Pasar. Santi bekerja lebih keras lagi untuk menopang kebutuhan kesehariaanya. Dia tak pernah lelah. Satu yang membuat Santi bersedih, dia belum bisa membahagiakan ibunya. Belum memberikan seorang cucupun untuk ibunya. Di sudut matanya yang terlihat semakin tua itu terbesit keinginan untuk menimbang seorang cucu.

Santi menitikan air matanya.

Sejak kejadian itu Santi tak lagi menjalin hubungan dengan laki-laki.

“Apa yang kamu lakukan dengan perempuan itu mas” Suaranya terdengar lirih dan perih ketika melihat kekasihnya berada dipelukan seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya. Bibirnya merona merah dan sedikit gelepotan di pipi, rambutnya berantakan dan roknya yang pendek robek sedikit.

“Bukan urusan kamu, Ti, sekarang kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi” Bentak mas Dedy dengan galak. Matanya menatap tajam bukan tatapan marah tetapi tatapan ketidaksukaan.

“Mas, aku mencintamu” Ucap santi meraih tangan Mas Dedy. Mas Dedy mengibaskan hingga tubuh Santi oleng.

“Dengar baik-baik, kita Putus. Aku tak mau lama-lama dengan perempuan cacat sepertimu nanti aku ketularan cacat” Kata-kata Mas Dedy semakin meninggi seperti orang mabok.

Santi mencoba menahan air matanya, “Sadar mas, ayo kita pulang”.

“Dasar perempuan cacat pergi kau” Perempuan itu nimbrung dengan tubuhnya yang gontai menorong tubuh santi.

“Pergi saja cepat, aku tak mau melihatmu lagi” gertak Mas Dedy.

Dengan derai air mata dia berlari meninggalkan laki-lakinya dengan perempuan itu.

Lamunannya berhenti ketika dia mendengar batuk ibunya yang semakin menjadi. Ibunya memang sudah lama sakit dan berbaring ditempat tidur dengan kasurnya yang tipis. Tak ada perawatan medis untuknya. Uangnya tak pernah cukup untuk membawa ke dokter apalagi rumah sakit.

Air matanya mengalir ketika didapati darah ditangan ibunya. Ibunya tak henti batuk-batuk dan disertai darah. Tubuhnya panas dan lemah. Santi semakin panik dan cemas. Pikiran-pikiran buruk yang menghantui dirinya ditepisnya.

“Tolong...Tolong.. Ibuku perlu ke rumah sakit” Santi berteriak di depan rumahnya.

Tetangganya berkerumun dan menemui ibu santi yang terbaring lemah. Mereka mengangkat bersama-sama dan dibawa ke rumah sakit.

Perawat menyambut dengan terburu-buru melihat darah berlumuran di pakaian dan tangan ibunya. Seperti korban pembunuhan. Santai mengikuti ibunya yang didorong perawat.

“Mba lebih baik Anda mengurus atministrasinya supaya ibumu cepat ditangani” Perintah salah satu perawat yang memiliki alis tebal dan badan sedikit gembal.

“Baik suster”

Santi berlari menuju ruang atministasi. Kakinya masih pincang dan tertatih-tatih. Setiap mata yang memandangnya tak dihiraukan lagi. Dalam pikirannya hanya ada ibunya saja.

“Suster, tolong saya. Tolong berikan penangan untuk ibu saya secepatnya saya janji akan melunasinya segara” Santi memohon dengan harapan besar.

“Maaf mba, anda harus melunasinya sekarang. Baru ibu kamu akan mendapatkan penangannya yang maksimal” Suster itu tetap bersikukuh.

“Tolong saya mba” Kali ini Santi benar-benar memelas demi ibunya. Ibunya kini benar-benar sekarat.

“Maaf mba, saya tidak bisa membantu banyak”

Air mata santi bercucuran, kakinya lemas, pandangannya mulai gelap, tapi dia mencoba kuat dan bertahan.
“Suster semua biayanya ibu itu saya tanggung dan tolong pindahkan di Ruang satu” Ucap Lelaki bertubuh besar mengenakan kacamata dan jas putih serta stetoskop di lehernya.

“Baik Dok”

Santi mencium tangan dokter muda itu dan terus mengucapkan terima kasih. Tubuhnya semakin ringan seperti ada kekuatan baru menyuplai tubuhnya.

Santi menunggu ibunya di depan pintu ruangan dimana ibunya dirawat. Mulutnya terus mengucapkan doa dan berdzikir. Pintu tak segera dibuka. Hati santi semakin cemas, detak jantungnya tak beraturan.

Dia kemudian duduk untuk menenangkan diri dan melanjutkan doanya.

“Selamat mba, Ibu sudah melewati masa kritisnya untung cepat dibawa ke rumah sakit” Dokter muda tadi menyalaminya dan terlihat ada ketulusan terpancar dimatanya.

“Terima kasih dok, saya sangat berhutang budi dengan Anda. Saya janji akan segera melunasi biaya pengobatan ibu saya” Ucapnya penuh semangat.

“Terima kasih kembali mba, mba sudah membayarnya 7 Tahun lalu” Dokter muda itu tersenyum sambil menepuk pundak santi.

Santi memandang tak mengerti maksud dokter muda itu.

Mereka duduk dan mengobrol jika dokter muda itulah yang dia tolong saat hujan lebat dan tidak ada tempat berteduh. Santi sangat tak percaya bahkan tak ingat dengan lelaki yang pernah dia tolong.

Ibu Santi mulai normal kembali, komplikasi paru dan jantungnya sudah mulai membaik. Santai sangat bahagia.

“Bu, Saya lelaki yang pernah ibu beri secangkir teh dan sepiring pisang goreng” Dokter muda mencium tangan ibu Santi dengan air matanya menetes di tangan si Ibu.

Santi tersenyum bahagia dan berterima kasih Kepada Tuhan...

“Maukah kamu menikah denganku dan menjadi ibu untuk anak-anakku” Ucap Dokter muda itu di hadapan Ibunya santi.

Santi mengangguk dan meneteskan air mata. Secangkir teh dan pisang gorengnya telah mempertemukan dia dengan jodohnya.





            

0 komentar:

Posting Komentar

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang