Minggu, 26 Februari 2012

Cerpen *Persahabatanku dengan Vani*

Sumber gambar di sini


Aku mahasiswa universitas swasta di Jakarta yang teropsesi menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin yang banyak dicari anak muda dan ibu-ibu gaul. Aku si tak terlalu pintar tapi tekatku belajar lumayan bisa diajungi jempol. Yang patut diajungi jempol kaki sekaligus itu sahabatku Vani, mahasiswa yang hampir mencetak nilai A untuk setiap makulnya. Hafalan seperti Farmakologi, anatomi fisiologi dan segalanya dia babat tuntas. Aku hanya tersenyum kecut. Tapi dia tetap sahabatku yang selalu ada di sampingku di saat aku gundah dan gulandah.
Siang itu aku dan Vani menghabiskan jam istirahat untuk menyantap bakso Pak Man di pinggir kampus. 
"acara lo hari apa Van, gue pengin ne maen ke tempat lo secara gue gak tau rumah lo?"Tanyaku sambil menyedot es jeruk terenak yang pernah aku telen. Terliat Vani hanya diam seperti berpikir sesuatu. Sepertinya dia tak setuju dengan rencanaku untuk berkunjung kerumahnya. "Kalo lo ada acara gak papa kok, Van". aku mencairkan keheningan. " Bener lo gak papa, gue ada acara di rumah tante gue, La". Terlihat Raut wajah Vani berubah aneh. Aku merasa ada yang gak beres dech dengan sahabatku satu ini, dia selalu ada aja alasannya kalau aku ingin berkunjung ke rumahnya. Vani memang orang yang sangat tertutup tentang  keluarganya. Dia selalu tak menceritakan apapun tentang Ayah, Ibu ataupun saudaranya.

Selama Aku berteman dengan Vani selalu materi kuliah yang menjadi topik pembicaraan pokok, pernah si dia bercerita jika dia dekat dengan seorang ustand muda di mana dia mengaji di komplek rumahnya. Sumpah aku penasaran banget dengan Ustand yang berhasil merebut hati Vani yang tergolong sangat penutup ini. Vani sibuk mengais-ngais isi tasnya untuk mencari Handphone yang sedari tadi berirama tak jelas. " Bentar ya La," Vani menjauh dariku untuk mengangkat telponnya. Tak seperti biasanya dia mengangkat telpon menjauh dariku. Samar-samar aku mendengar suara Vani yang parau. " Aku harus kemana Mah?".  Isak tangis Vina mulai terdengar. Aku khawatir akan terjadi sesuatu dengan Vani. Ingin rasanya aku mendekatinya. Tapi aku harus menghargai privasinya. Kembali aku membuka-buka materi fisiologi yang tadi belum sempat kupahami. Vani duduk dengan air mata yang masih menitik, terliat jelas ada gundah di jiwanya. Aku menyentuh tangannya.

"Ceritakan apa saja yang lo rasa Van, gue emang gak bisa bantu banyak tapi mungkin bisa buat lo sedikit lebih tenang". Aku mencoba menghiburnya. Vani berusaha tersenyum meski kutau itu sangat berat. Kerut di keningnya menandakan kegalauan hatinya. "gue takut kalau lo tau siapa gue, lo gak mau berteman sama gue lagi". Perkataan Vani kali ini sungguh membuatku tambah gak ngerti. Wajahnya yang cantik terlihat pucat. " gue trima lo apa adanya kok Van." Vani diam dah menggenggam tanganku erat. " Janji ya La, jangan bocorin tentang keluarga gue terutama ke temen-temen dan dosen kita, gue gak mau cita-cita gue berantakan". Suara Vani bergetar membuatku sangat iba melihatnya. Aku hanya mampu mengangguk dan membalas genggaman tangannya. " sekarang anterin gue pulang yuk" Vani menarik tanganku. Aku hanya mengekor dengan tanda tanya besar di otakku.
***

Aku menepikan mobilku di trotoar yang banyak dijajakan parfum-parfum yang sedikit membuatku oleng. Aku mengikuti Vani menapaki gang kecil di sela-sela ruko sembako dan salon kecantikan. Aku kembali mengingat-ingat memoriku, oia setiap kali aku mengantar Vani pulang hanya sampai di depan ruko saja. Aku pikir dia pemilik salah satu ruko di sekitar sini. Kami  terus berjalan melewati kerumunan orang dan lalu lalang muda-mudi, anehnya semuanya berpasang-pasangan. Jalan setapak ini lumayan panjang hingga membuat kakiku pekal dan ingin rasanya melepas wedges yang melekat di kakiku. Aku jalan terpontang-panting.

 " Ne tempat apaan si Van rame banget, ada kondangan ya?" tanyaku polos. Suara musik mulai terdengar, banyak sekali cewek-cewek dengan pakain supermini dan memperlihatkan sedikit payudaranya berjalan berpasangan dengan pria paruh baya. Masa iya kondangan pake baju seksi begitu, pikirku. "lo kagetkan dengan lingkungan gue". Tiba-tiba aja Vani berbicara membuyarkan pikiran ngacoku saja. " em apapun latar belakang lo gue trima kok, lo tetep sahabat gue". Hanya itu yang sanggup ku ucapkan, sebenarnya aku gak nyangka banget kalo seorang Vani yang terkenal primadona di kampus, Rajin ibadah dan pacar ustad tinggal dalam lingkungan seperti ini. Lingkungan yang banyak sekali didatangi pria hidung belang. " Gue malu sama Prio, La". Prio itu ustad di tempat biasa Vani mengaji. Mereka sudah 3 bulan berpacaran. Aku yakin mereka berdua sangat saling mencintai. Itu si dari cerita Vani yang aku dengar. Aku tak tau apa kelanjutan cinta Vani jika Prio tau siapa sebenarnya Vani. Diujung jalan ada sebuah rumah mewah lengkap dengan hiasan lampunya seperti ada pesta di sana. " itu rumah gue La. rumah gue selalu rame begitu tiap pagi siang malam". Aku hanya terjengang tak percaya. Aku seperti ada di dalam mimpi. Sungguh apakah ini mimpi?. Vani mengajakku masuk dan menelusuri kamar demi kamar yang sesekali terdengar desaan seorang wanita dan pria. Entah itu darimana asalnya. Bau alkohol dan mentol tercium sangat pekat di hidung. Tak henti-hentinya aku terbatuk. Di sana-sini hanya pria dan wanita yang saling bercumbu seperti tak tau malu tak peduli apakah ada orang ataupun tidak, seperti dunia milik mereka saja. Aku merinding. Aku takut. " lo masuk aja La, ini kamar gue". Aku memasuki kamar yang sangat bersih, rapi dan wangi. Beda banget sama kamarku yang superdoubel berantakan. Buku-buku Vani tertata rapi di rak meja di sudut kamar. Ada beberapa ayat Al-quran yang tertempel di dinding kamarnya. Sungguh perbandingan yang sangat mencolok antara di dalam kamar ini dan di luar pintu kamar ini. Aku duduk di atas ranjang yang tertata rapi dengan beberapa boneka di atasnya. Aku masih bengong dan tak percaya. Vani meletakan buku-bukunya dan mengisi tasnya dengan beberapa helai baju. "Nyokap gue germo, tapi nyokap gue sayang banget sama gue. Nyokap gak mau kalo gue hidup dalam keadaan seperti ini, Foya-foya, menjual diri dan mabuk-mabukan. makanya nyokap gue nyekolahin gue dan didik gue bener-bener. Gue aja gak tau siapa bokap gue. Dari kecil gue hidup di sini, meski dalam keramain gue merasa sendiri, sepi dan tak punya sapa-sapa kecuali nyokap gue. " Vani terisak. Sumpah aku gak bisa ngomong apa-apa. Langsung mendekati Vani dan memeluknya. " gue tetep ada buat lo, Van". Tak terasa air mataku juga mengalir. Aku sangat iba dengan kehidupan Vani seperti ini. Terdengar suara pintu terbuka, seorang wanita paruh baya dengan rokok di tangan kanannya mendekati kami. Raut wajahnya cantik seperti Vani, pakaianya sangat terbuka dengan Dress merah marun yang hanya menutupi bagian tubuhnya yang vital. Serta highgirl menghiasi kaki mungilnya. "Kenalin, ini nyokap gue" ucap Vani. Mataku masih menelusuri wanita itu dari ujung rambutnya yang ikal hingga ujung jempolnya. " oh iya, aku Kamela tante, temen sekampusnya Vani". Dengan terbata akhirnya aku bersuara. Wanita itu mengulurkan tangannya. " Reina, Mamahnya Vani". Aku menyambut uluran tangannya. Sangat halus dan wangi. " Terima kasih ya selama ini telah menjadi teman anak saya" Ucap Tante Reina ramah. Aku tersenyum sambil merangkul Vani. "Van, mamah mau ngomong sini sayang". Tante Reina menarik tangan Vina keluar kamar. Aku duduk kembali dan terbawa alunan musik disko. Seumur hidup ne belum pernah masuk dalam suasana seperti ini, kalau mamah tau siap-siap didamrat abis-abisan. Aku mencuri dengar pembicaraan tante Reina dan Vani.
" Mamah gak mau kalo kamu menikah sama Om Rizal, dia itu istrinya banyak. Mamah gak mau kamu jadi alat untuk tetap berdirinya rumah ini" Ucap Tante Reina. " Vina, juga gak mau mah. Vina punya pilihan sendiri" Ucap Vina. " oh kamu masih berhubungan sama ustad muda itu, Mamah gak suka kamu dekat-dekat sama ustad itu. Ngaca Van, km anak siapa? Mamah gak mau kalo nanti kamu dihina orang sekampung". Suara Tante Reina terdengar keras. " Tapi mah, dia itu bisa nuntun Vina di jalan yang bener Mah, Vina cinta sama Prio". Vina mulai menangis. " sekali mamah gak suka tetap gak suka, pacaran sama orang biasa aja kenapa sih. Jangan ustad mereka gak bakal mau menerima kita" Tante Reina mulai meninggi. " Mah, aku bisa kok ngomong pelan-pelan ke Prio, dia pasti mau nerima Vina, ya seperti Kamela nerima Vina" Vina tetap mengotot. " sudahlah lebih baik sekarang kamu pergi dan kemasi barang-barang kamu, kalo perlu kamu cari tempat kos. Mamah gak mau kalo Om Rizal membawa kamu kabur, cepat Van". Vani masuk ke kamar dan meraih tasnya yang berisi segala keperluan dirinya. " Ayo La, kita pergi dari sini, ntr gue crita di jalan aja". Aku mengangguk. Vani berpelukan dengan tante Reina. " Kamela, titip Vani ya sayang". ucap tante Reina sambil berkaca-kaca. " iya tante". ucapku sembrani mengikuti Vani. 

***

Dua hari ini Vani menginap di rumahku, Mamah sangat senang ada Vani di rumah. Vani sangat pintar memasak dan merajut sangat klop dengan hobbynya Mamah. Vani sudah seperti saudaraku. Aku sangat menyayangi Vani sebagai sahabatku. Pagi ini Aku berangkat kuliah bersama Vani. "Ntar pulang dari kampus lo harus ngomong sejujurnya ke Prio, sebuah yang didasari kebohongan gak akan berdampak baik" bujukku. Aku melihat sisi ketidak nyamanan di diri Vani sedari tadi kuperhatikan hanyalah menggigit kuku hingga kukunya tak beraturan. Penampilannya hari inipun sangat berantakan. Hanya mengenakan kemeja biru dan celana jins saja. Rambutnya dibiarkan terurai berantakan. Aku kasihan melihatnya.

Sepanjang jalan semua mata tertuju pada kami, mungkin Vina tak begitu memperhatikan. Di depan sana ada sosok pria yang sepertinya akan mengampiri kami. Penampilannya rapih dan gagah. Meski hanya mengenakan Jaket kulit hitam terlihat sangat elegan. Dia tersenyum ke arahku. Aku tak mengenalnya, apa dia kekasih Vani. "Van, lo kenal cowok itu?" Aku mencubit lengan Vani. Vani tak bereaksi. Aku menginjak kaki Vani keras. " Auooo lo gila apa??bisa remuk ne kaki gue" Spontan Vani langsung ngomel panjang leher. Aku ketawa tanpa dosa. " itu lho ada cowok senyum sama kita, lo kenal ga?". Vani langsung salting dan sepertinya ingin melarikan diri, namun terlambat, pria itu sudah tepat dihadapannya. "Prio" Ucapnya terbata. Dalam hati aku kagum, " ini yang namanya Prio. Gila Cakep banget". Aku memandangi dirinya dari ujung ramput ke rambut lagi.

***

Aku tak tau apakah Vani sudah berbicara sejujurnya kepada Prio atau belum, siang ini aku tak bertemu dengan Vani sejak dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Sedari tadi dia juga tak nampak beredar di kampus. Aku mulai cemas dengan keadaan sahabatku satu ini. " La, lo masih mau berteman sama Vani, dia kan anak Germo" Ucap Lily teman sekalasku. Aku melotot ke arah Lily. "Darimana dia tau" Batinku mulai berkecambuk tak karuan. " Siapa bilang nyokapnya Germo, gak usak sok tau dech lo". Makiku. Spontan Lily tertawa membuatku ingin menipuknya. "Lo tu gak punya tivi apa emang gak peduli si La, kemarin gue jelas-jelas liat Vani di lingkungan Pelacuran, reporter bilang teman itu akan digusur dan gue lihat Vani dibawa oleh seorang pria". Perkataan Lily hanya angin lalu saja aku langsung bergegas ke rumah Vani.

Entah kenapa Aku takut vani kenapa-kenapa. Aku mengemudi mobilku dengan kecepatan penuh, pikiranku melayang kemana-mana. Entah mengapa aku sampai  begini, dipikiranku hanya Vani sahabatku. Aku tak mau kehilangan Vani di lingkungan kampus. Hanya dia yang selalu bersamaku sepanjang kuliah. Aku pasti akan kehilangan jika Vani dinikah paksa dengan Om rizal. Aku memenginjak gas hingga mobilku melaju ringan di jalanan. Diujung ada belokan yang lumayan tajam, karena panik dan tak terkontrol saat ada motor melintas aku tak sempat menginjak rem ato memakai rem tangan. Aku menabrak seorang pria, ya seorang pria yang mengendarai motor ninja hijau. Helmnya terlempar. Tubuh dan motornya berjarak 2-3 meter. Hidungku mimisan karena terbentur setir, kepalaku sangat pusing. Entah setelah itu Aku tak tau apa yang terjadi.

***

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit, Mama sedari tadi menangis matanya masih sembab. Vani di sampingku dengan keadaan yang sangat kumal, seperti bukan Vani. Matanya sembab dan di sekitar matanya biru. Aku tak tau apa yang terjadi, mengapa semua mata menatapku penuh tanya, seperti ada hal yang berat terselubung di benak mereka. "Apa yang terjadi Van?" Aku akhirnya memutuskan untuk mencairkan suasana yang sangat tegang ini. Bukannya Vani menjawab dia malah menangis sesegukan. Mama memegang pundak Vani untuk menguatkan. "apa yang terjadi Mah?" Tak henti aku bertanya dengan nada sedikit meninggi. Aku sungguh tak tau apa yang terjadi setelah kecelakaan itu. Aku tak tau apakah pria yang aku tabrak selamat atau meninggal. Bahkan aku tak tau siapa dia. Rasa bersalah itu trs menghantuiku. "Prio yang kamu tabrak 3hari lalu meninggal " Ucap Papah yang sangat membuatku kaget. 3hari lalu, Prio meninggal apa yang terjadi denganku Tuhan. Pria yang kutabrak itu PRIO. Mengapa aku tak mengingat semuanya. "Tiga hari kemarin kamu koma" Mamah menambahkan. Aku merasa sangat berdosa dengan Vani, aku telah membunuh pacar sahabatku. "Vani maafin gue, gue dah hancurin semua cinta dan harapan lo" Isakku. Air mataku terus mengucur. Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri, aku membunuh orang yang paling Vani sayang. Aku tak pantas dipanggil sahabat oleh Vani. " Van, lo boleh hukum gue apa aja terserah lo Van, asal maafin gue". Ucapku serak. Vani menatapku. Dia memelukku dan menangis. Orang disekitar kami tak ada satupun yang tidak ikut menangis. "semua udah takdir La, gue ikhlas.Gue maafin lo La." Kata bijak yang keluar dari mulut Vani semaki membuatku merasa bersalah, mengapa orang sebaik Vani harus bernasib seperti ini. Kenapa bukan aku saja yang Mati. Vani mengusap air mataku. Diaa menatapku penuh arti. "sekarang gue dah nikah sama Om Rizal"Ucapnya pasrah. Aku tersentak. Aku menatap noda biru diwajah ayunya. Aku menyentuhnya, "ini kenapa Van". Vani merintih. "Gue kebentur kemarin". Aku tau dia berbohong, selama aku sama-sama pendidikan kedokteran dan akhirnya mengambil spesialis yang sama membuatku paham akan raut wajah Vani. Saat dia bahagia, sedih, boong sekalipun aku sanggup membacanya. "Lo bener gak papa Van?" Vani tak berani menatap mataku. Dia mengalihkan pembicaraan. "lo dari kemarin gk maem, sini gue suapin". Vani menyodorkan makanan yang disediakan dari rumah sakit yang takaran gizinya sudah sesuai namun rasanya sumpah dech membuatku tak berselera makan.

***

Sejak kejadian di rumah sakit aku tak lagi berjumpa dengan Vani hanya sekedar menyeruput kopi di kafe seperti masa kuliahpun tak pernah.  Kini Aku juga sudah menikah dengan seorang pria tampan kekasihku saat di SMA. Namanya jodoh memang tak akan kemana. Kini hari-hariku jalan seperti biasanya, namun aku tak akan pernah bisa melupakan Vani meski kini sudah 4 tahun tak lagi berjumpa. Aku berharap dapat berjumpa lagi dengan Vani, aku ingin tau apakah dia bahagia dengan pernikahan paksanya.

***

2 komentar:

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang