Sabtu, 01 Maret 2014

First Love Forever Love Part 1


Sumber gambar di sini


Aku memilah baju-baju yang tertata rapi di lemari kayu berpoles plitur yang mengkilap di pojok kamarku yang berukuran 4x5 meter. Kamar ini cukup bisa menguras keringat untuk melakukan aerobik dan lari-larian kecil. Aku mengambil pelan-pelan baju yang tersimpan ditumbukkan paling bawah yang nyaris tak pernah tersentuh. Melebarkan dan mencoba mencocokkan dengan tubuhku yang semakin berubah saja. Mulai tidak rata. Bajuku banyak sekali yang gak pantas aku kenakan lagi. Aku mengerutkan kening dan memulai memilah. Hari-hari pertama di bangku Sekolah Menengah Atas aku cukup menjadi siswi aktif dan tergabung berbagai organisasi mulai dari OSIS, PMR, Paduan Suara dan pencak silat. Jumat sore mendatang aku dan rombongan OSIS akan mengunjungi panti asuhan yang terletak tidak jauh dari Sekolah untuk mengadakan perlombaan dan membantu apa saja yang dibutuhkan anak-anak panti dan salah satunya menyumbangkan baju layak pakai dari anggota OSIS. Aku sangat antusias dengan kegiatan jumat sore mendatang. Rasanya tak sabar terlibat langsung dalam kegiatan OSIS yang sebelumnya pernah pernah aku ikuti.

Langkah kaki terdengar semakin mendekatiku, gagang pintu warna emas bergerak mengikuti perintah. Mama nongol dibalik pintu dengan handuk masih nengkreng di kepalanya. Raut wajahnya sumringah. Sinar matanya bercahaya.

“Mama ngagetin aja si” Aku sewot. Mama menempelkan telunjuknya di bibirnya yang merah lembab seperti diolesi minyak goreng. Aku mengerutkan dahi dan menyipitkan mataku.

“ Ada Dimas di depan”  bisik Mama dengan wajah masih sumringah. Spontan darahku naik kepermukaan pipi, semoga Mama nggak liat wajahku yang mungkin memerah seperti tomat. Aku mengabaikan baju-baju berserakan di lantai dan menyerobot keluar kamar. Mama hanya geleng kepala dan tersenyum. Matanya mengikuti langkah kakiku yang sedikit berlari.
http://www.dbc-network.com/?id=kantongberlianku

Dimas teman kecilku yang meninggalkan aku saat lulus SD telah kembali dengan postur tubuh lebih tinggi dibanding aku, lebih tegap dibanding aku dan lebih ganteng tentunya. Kaos polos warna coklat bertuliskan “WANTED” dan celana jeans selutut membuatnya terlihat lebih dewasa. Rambutnya dipotong cepak dan sedikit jambul di sisir ke atas di bagian depannya. Hanya 3 Tahun saja kami tidak berjumpa tapi rasanya seperti puluhan tahun dengan perbedaan yang terjadi dari masa anak-anak ke pubertas. Ups.. Sepertinya aku terlalu lama mengamati cowok nyebelin yang suka usil ini.

“Dimasss, kamu dateng gak bilang-bilang si?” Aku mencubitnya manja.

“Biar surprise dong” Gayanya sok cool.

Dimas tetap duduk dengan posisinya. Aku duduk di sampingnya dan mengamati lebih dekat. Dimas mengacak-acak rambut kritingku sama seperti jaman SD bedanya kali ini hanya lebih menggunakan perasaan saja. Setiap Dimas mengacak-acak rambutku aku selalu marah dan mengadu ke Mama tapi kali ini aku pasrah. Menikmatinya dan aku menemukan kenyamanan.

“Kamu nggak ada yang berubah ya sama saja jelek”  Ledek Dimas dengan senyum jailnya.
Aku manyun dan membalas mengacak-acak rambutnya. Tentunya tetap tidak menggunakan perasaan. Aku tertawa terbahak-bahak melihar rambut rapinya berantakkan.


***

Aku mencubit pipiku berulang kali saat aku duduk di belakangnya dan bisa memandangi punggungnya yang mulai melebar lebih dekat. Sepertinya pikiranku semakin ngaco dan lebay. Dulu aku dan Dimas selalu bersama-sama dan menghabiskan hari-hari untuk bermain sepulang dari Sekolah Dasar. Sekarang Dimas kembali lagi  bersama orang tuanya dan menetap di rumah yang telah lama mereka sewakan. Aku sangat bahagia.

Saat aku mulai menyukai cowok dan mengerti arti cakep selalu Dimas yang muncul di otakku. Berseliweran tanpa mengenal permisi sampai membuatku susah mengendalikan perasaanku yang semakin lelah memikirkannya. Memikirkan kapan Dimas kembali

Jawaban dari penantianku tidak semu lagi,  kini Dimas ada di sampingku lagi dan aku berharap selamanya tak akan pergi lagi.

“Cewek-cewek di sekolahmu ada yang cantik-cantik gak?” Dimas membuyarkan lamunanku yang menjadi-jadi dan mulai ngelantur. Spontan aku mencubit perutnya, untung Dimas nggak lihat wajah manyunku.

“Dasar Mata keranjang”  Aku mencibir.

“Ye... Sekolah itu butuh motivasi dan cewek cakep yang buat makin rajin sekolah dan semangat sekolah” Ucapnya tanpa menghiraukan perasaanku.

Dimas mempercepat laju motornya. Aku menutup kaca helm doraemonku dan diam. Dimas menyanyikan lagu milik Bruno Mars pelan kemudian keras. Membuatku pengen ketawa dengar suara bassnya.


***


Rasanya malas masuk kelas, pikiranku berkecambuk pengen marah pengen protes bahkan pengen demo membawa spanduk di kantor guru dan bertuliskan “Jadikan kami satu kelas DIMAS dan DELLA”. Kelasku memang masih cukup untuk masuk siswa baru lagi tetapi kelas X-3 lebih membutuhkan siswa baru. Aku semakin nggak bisa leluasa mengamati Dimas. Tembok tinggi itu seperti jarak ratusan mil. Aku melirik kelas Dimas. Aku mencoba menahan langkah kakiku untuk tidak mengampirinya. Rasanya muncul gumpalan gengsi di dalam kepalaku, tetapi tekatku berubah seperti bom yang kapan saja bisa meledak tanpa dikenalikan. Aku melangkahkan kakiku mantap memasuki ruang X-3 yang kini menjadi ruang kelas baru untuk Dimas.

Mataku mencari-cari sosok bertubuh jungkis dan berambut jambul ayam. Mataku terhenti di bangku nomor dua dari belakang. Dimas duduk bersama Niken dan terlihat sangat asik mengobrol membuatku enggan untuk mendekatinya. Sesekali Niken memainkan rambutnya yang terurai sebahu sambil mendengarkan Dimas yang asik bercerita. Dimas diam dan mendengarkan Niken berganti menjadi pembicara. Mereka lumayan dibilang cepat melakukan pendekatan.

Wajahku mungkin terlihat kurang mengenakan membuat cowok-cowok yang nongkrong di depan kelas meledekku dan mentertawakan aku abis-abisan.

“Cieee cembukur ni yeee”

Aku melenggos dan mengacuhkan mereka. Aku kembali ke ruang kelas X-5 yang berjarak satu kelas dengan kelas Dimas dengan hati nggak karuan. Rasanya seperti diterbangkan di awan yang terdapat ribuan kupu-kupu kemudian dijatuhkan di atas tanah  berduri. Sakit. Perih.

Dimas hanya mengobrol dengan teman barunya, Kenapa aku bisa sampai segitu nggak terimanya si. Aku mencoba menenangkan batin dan pikiranku. Mengalihkan pikiran tentang Dimas dan bergabung dengan teman-teman cewek yang asik bergosip ria.


***

Rasa yang terpendam di dalam hati ini seperti ingin meluap dan memuncratkan isinya. Namun aku mencoba sekuat batinku untuk mendam. Aku tak ingin persahabatanku dengan Dimas berantakan hanya dengan perasaanku yang mulai mengharapkan lebih dari seorang teman. Aku menggemas perasaanku sedemikian rupa untuk menutupinya dari Dimas.

Aku masih menjunjung tinggi adat Jawa, jika seorang cewek itu harus sabar dan menunggu lamaran bukan melamar. Meski cukup membuatku uring-uringan aku mampu memendamnya sampai akhir kenaikkan kelas.
Kenaikkan kelas kali ini aku berharap dapat memasuki kelas IPA karena IPA kelas yang di cita-citakan Dimas untuk terus aktif di-ekstrakulikuler-karya-ilmiah-remaja. Harapan yang lebih besar bukan hanya sekedar Kelas IPA tetapi aku bisa satu ruangan dengan Dimas.

Aku sangat menikmati mengagumimu dengan batas-batasan yang aku ciptakan sendiri.

Bersama teman-teman yang sama berdebarnya seperti hatiku saat ini, aku ikut mengerumuni papan informasi yang terdapat beberapa lembar kertas pengacakan ruang untuk kelas X1 yang dibagi menjadi tujuh kelas saja yaitu empat kelas IPA dan tingga kelas IPS. Sekolah kami meniadakan kelas khusus bahasa.

 Riuh.

Ada yang berpelukkan karena mereka dipertemukan kembali di kelas yang sama, ada yang menyesali tidak masuk dalam kelas IPA atau IPS, ada yang menyayangkan satu geng di kelas X harus bercerai berai di ruang kelas berbeda.

Mataku tetap fokus menelurusi nama demi nama dengan telunjukku. Tiba-tiba saja ada tangan yang menarik pundakku membuatku berpaling dan hampir membuatku naik darah.

“Kita satu kelas” Dimas mengeraskan suara ditengah keriuhan.

Aku melompat kegirangan membuat Dimas bersenyum sinis dan menarik dasi panjangku lumayan kuat membuatku langsung teriak sebal.

“senengkan sekelas sama orang ganteng” Ucapnya semakin besar kepala. Aku hanya mencibir dan mengucap “ALHAMDULILLAH” dalam batin. Dimas menarik tanganku dari kerumunan manusia-manusia penasaran. Hatiku dag-dig-dug gak karuan. Tangan Dimas yang dulunya biasa saja kini berubah seperti aliran-listrik-bertegangan-tinggi.

Niken dengan rambut ekor kudanya mendekatiku dan Dimas. Spontan Dimas melepaskan tanganku agak cepat cukup membuatku kaget.

“Selamat ya Del, kita sekelas juga lho” Suara Niken sangat antusias tetapi terdengar lembut. Aku hanya tersenyum dan kakiku mendadak lemas.

Niken kembali sekelas dengan Dimas dan aku ada di ruang yang sama dengan mereka itu artinya aku semakin sering melihat mereka semakin akrab. Ah kenapa nafasku tiba-tiba terasa sesak.  


***


Aku duduk di atas kursi kayu buatan kakek sambil memandangi akuarium yang hanya terisi separoh air dan 3 ekor ikan koki. Pandanganku kosong. Dimas duduk di lantai sambil memainkan gitarnya. Dimas mengisyaratkan aku untuk bernyanyi seperti biasanya. Aku dan Dimas selalu didekatkan karena lagu dan musik. Tapi kali ini aku seperti kehilangan suaraku. Di tenggorokanku seperti ada biji kedondong nyangkut. Hanya alibi karena moodku mendadak berubah sangat buruk.

“Akhirnya aku sekelas lagi sama Niken” jantungku seperti berhenti berdetak beberapa detik saat Dimas memulai percakapan. Dimas menyenderkan Gitar ditembok dan mengambil butir-butir makanan ikan kemudian menaburkan ke dalam akuarium. Ikan koki berebutan dengan bibir monyongnya.
Aku tidak bereaksi.

“Ikan ini diibaratkan aku, kamu dan Niken, aku ada di satu ruangan yang lebar tetapi hanya ada dua orang yang bisa mengerti dan memahami aku dan mampu beradaptasi dengan ku di lingkungan yang lebih kecil” Dimas berdalil.

Aku menarik nafas dan mengembuskan pelan-pelan. Hati ini seperti ditusuk-tusuk jarum kemudian dirobek menggunakan silet lalu ditaburi garam.

“kamu suka Niken?” Pertanyaan konyol dan terlalu cepat aku tanyakan. Tidak terdengar aneh jika memang Dimas tetap menganggapku sahabatnya sedari kecil. Pertanyaan seperti yang aku ucapkan adalah pertanyaan  wajar seorang sahabat tanpa mencurigakan.

Dimas diam. Terlihat raut wajah yang menunjukkan kesedihan di sana. Aku mengamati lebih seksama dan memegang wajahnya untuk mengarahkan ke wajahku. Dimas mengangguk kemudian kembali memandangi ikan koki yang masih berebut makanan.

“Kalian jadian” Nada bicaraku lebih ditekan.

Aku tak sabar menunggu jawaban yang terlontar dari mulut Dimas. Saat bibirnya mulai bergerak rasanya aku ingin menutup kedua telinga. Aku takut jawaban itu membuatku jatuh lebih jatuh dan patah.
“Maunya si begitu” Ucapnya datar.

Aku menghembuskan nafas lega karena mereka belum jadian, di sisi lain hatiku tersayat perih karena benar Dimas menginginkan Niken. Cewek manis, feminim, lembut dan sangat perfect untuk ukuran pacar.

“First love is the most wonderful life”  matanya memancarkan keyakinan jika Niken gadis yang akan membuatnya bahagia.

Dimas tidak bercerita banyak tentang Niken. Dia tidak mengatakan kemajuan dalam pendekatannya dengan Niken. Apa dia sudah mengatakan cintanya kemudian ditolak ataukah dia hanya berani memendamnya seperti aku memendam dalam perasaanku dengannya.

Dimas terlalu tertutup masalah hati. Mungkin karena ini kali pertama dia merasakan cinta terhadap lawan jenisnya. Ah mengapa Dimas tak menceritakan hatinya.

Aku sudah bertahun-tahun bersamanya tetapi dia tidak menaruh sedikitpun perasaan kepadaku. Sangat terbalik dengan keadaan hatiku terhadapnya saat ini.


***


Terik matahari kali ini membuatku banyak mengeluarkan keringat, aku meneguk air mineral tidak dingin dan mengusap mulut basahku dengan punggung tangan. Aku mencari sosok Dimas. Tidak ada cowok pujaan hatiku. Aku menarik napas berat dan mengebuskan cepat.

“Hai jangan melamun ntar kesurupan lho” Suara itu cukup membuatku kaget, aku melirik dengan mata menyipit. Bukan Dimas. Perasaanku sedikit kecewa.

“Biar saja” Omelku datar kembali melihat hamparan rumput yang mulai kering kekurangan air.

Hendri duduk di sampingku. Hendri kakak kelas yang mendekatiku akhir-akhir ini. Aku mulai akrab dengannya setelah aku aktif serta di kegiatan OSIS. Dia cukup populer di sekolah. Gayanya cool tetapi sedikit arogan. Aku lumayan tertarik dengan penampilan fisiknya. Tubuh 175cm, tegap dan lebih kekar dari Dimas. Potongan rambutnya dibiarkan jabrik dengan minyak oles yang nggak pernah kering. Kumis tipisnya mulai nengkreng di atas bibirnya yang tipis.

“Besok minggu nonton parade band di SMA 2 yuk” Hendri meletakkan kaki kanannya ke atas paha kaki kirinya. Matanya tetap ke arahku.

Beberapa detik aku berpikir. “Em liat besok ya, aku kabarin” Aku sedikit memberikan harapan. Yah mungkin dengan aku mencoba dekat dengan cowok lain aku bisa mengalihkan pikiranku tentang Dimas yang semakin hari membuatku seperti tercekik.

***

Setelah bel bubar sekolah aku langsung ngeluyur pergi. Rasanya hari ini benar-benar membuatku lelah. Seharian Dimas menjauhiku. Dia juga nggak terlihat bersama Niken. Sepertinya Niken lebih sering bergerombol bersama teman-temannya dibanding dengan Dimas. Aku memang satu kelas dengan Niken tapi entah kenapa aku tak pernah merasa dekat dengannya meski Niken selalu ingin mendekatiku.

Niken bagaikan batang mawar yang kapan saja akan melukai hatiku dengan durinya. Dia ramah tetapi tidak untukku. Entah, hatiku tak pernah bisa damai bersamanya. Aku memilih biasa saja dengannya meski semua teman cewek dekat dan akrab dengan Niken.

Aku langsung memasukkan motor-mio-ku ke dalam Garasi. Kamar tempat ternyamanku kali ini bukan sekolah tempat dimana aku bisa melihat Dimas dengan leluasa. Setelah Dimas menginginkan Niken rasanya aku mulai ingin melangkah mundur dan mencoba damai dengan perasaan ini.

Dimas hanya teman kecilku yang akan selamanya menjadi teman. Aku tak akan merusak kebersamaan ini hanya dengan perasaan yang menginginkan lebih dari sekedar teman. Sungguh egois sekali hati ini.

Aku meletakkan tas di meja belajar dan berbaring menatap atap kamar berhiaskan burung-burung kertas. Aku memejamkan mata dan melenyapkan perasaan berkecambuk di hati ini. Gagal. Senyum Dimas muncul dan berputar-putar di atas kepalaku. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan tengkurep.

Ponselku berdering pelan kemudian keras. Aku berbalik dan bangun mendekati tas. Aku mengambil ponselku di kantong tas bagian luar.

Dimas-ku. Layar ponselku muncul nama yang sedari tadi menghantui pikiranku. Aku menekan Ok dan menjawab.

“Iya, ada apa mas”

“Ting aku mau ngomong sesuatu” nadanya pelan tetapi terdengar cepat.

Aku membesarkan volume dan membaringkan tubuhku di ranjang.

“Tentang apa?” Suaruku terdengar antusias.

“emmm...” Diam.

 “ em ....Kamu mau jadi pacarku?” Aku memastikan pendengaranku benar. Semoga Dimas tak mengerjaiku.

“Nggak usah bercanda deh” Aku jual mahal, walau aku sejujurnya ingin mengatakan iya-aku-mau-pake-banget.

“Aku serius, ting” Sahut Dimas mantab. Suaraku susah diajak kompromi. Pikiranku memaksa untuk tidak menjawab sekarang tetapi mulutku susah dikendalikan.

“em bener juga sepertinya kita harus mencoba, kita udah lama dekat dan apa salahnya kita lebih dari teman”. Bodoh. Aku telah melakukan sesuatu yang di atas batas nalarku. Aku terlalu cepat memutuskan untuk menyetujui keinginannya. Aku seperti kehausan di padang pasir yang kesulitan mencari air kemudian ada seseorang menawarkan segelas air yang tak mungkin aku abaikan.

“Kamu serius?” Nada suaranya meninggi. Dimas seperti tidak yakin dengan argumenku.

“Iya, aku menyukaimu sejak kamu meninggalkanku. Aku merindukan kamu, Mas” Ucapku tanpa ragu.

Aku tak mendengar reaksi Dimas. Hening. Mungkin dia menjauhkan ponselnya dan menarik tangan ke bawah sampel mengepal dan tersenyum lebar. Ataukah dia pingsan setelah mengungkapkan perasaannya dan kemudian diterima.

Dimas tidak mengungkapkan perasaannya dia hanya bertanya untuk mengganti status baru untukku. Ah.. aku tak memperdulikan itu. Aku sangat berharap setelah saling menatap bola mata dia akan mengungkapkan perasaannya kalau dia juga sangat menyukaiku. Dia mungkin malu untuk mengungkapkan sekarang.


***

Bersambung, ya guys....
Lnjutn di First Love Forever Love Part 2


0 komentar:

Posting Komentar

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang