![]() |
Sumber gambar di sini |
Aku
memilah baju-baju yang tertata rapi di lemari kayu berpoles plitur yang
mengkilap di pojok kamarku yang berukuran 4x5 meter. Kamar ini cukup bisa
menguras keringat untuk melakukan aerobik dan lari-larian kecil. Aku mengambil
pelan-pelan baju yang tersimpan ditumbukkan paling bawah yang nyaris tak pernah
tersentuh. Melebarkan dan mencoba mencocokkan dengan tubuhku yang semakin
berubah saja. Mulai tidak rata. Bajuku banyak sekali yang gak pantas aku
kenakan lagi. Aku mengerutkan kening dan memulai memilah. Hari-hari pertama di bangku
Sekolah Menengah Atas aku cukup menjadi siswi aktif dan tergabung berbagai
organisasi mulai dari OSIS, PMR, Paduan Suara dan pencak silat. Jumat sore mendatang
aku dan rombongan OSIS akan mengunjungi panti asuhan yang terletak tidak jauh
dari Sekolah untuk mengadakan perlombaan dan membantu apa saja yang dibutuhkan
anak-anak panti dan salah satunya menyumbangkan baju layak pakai dari anggota
OSIS. Aku sangat antusias dengan kegiatan jumat sore mendatang. Rasanya tak
sabar terlibat langsung dalam kegiatan OSIS yang sebelumnya pernah pernah aku
ikuti.
Langkah
kaki terdengar semakin mendekatiku, gagang pintu warna emas bergerak mengikuti
perintah. Mama nongol dibalik pintu dengan handuk masih nengkreng di kepalanya.
Raut wajahnya sumringah. Sinar matanya bercahaya.
“Mama ngagetin aja si” Aku sewot. Mama
menempelkan telunjuknya di bibirnya yang merah lembab seperti diolesi minyak
goreng. Aku mengerutkan dahi dan menyipitkan mataku.
“ Ada Dimas di depan” bisik Mama dengan wajah masih sumringah.
Spontan darahku naik kepermukaan pipi, semoga Mama nggak liat wajahku yang
mungkin memerah seperti tomat. Aku mengabaikan baju-baju berserakan di lantai
dan menyerobot keluar kamar. Mama hanya geleng kepala dan tersenyum. Matanya
mengikuti langkah kakiku yang sedikit berlari.
Dimas
teman kecilku yang meninggalkan aku saat lulus SD telah kembali dengan postur
tubuh lebih tinggi dibanding aku, lebih tegap dibanding aku dan lebih ganteng
tentunya. Kaos polos warna coklat bertuliskan “WANTED” dan celana jeans selutut
membuatnya terlihat lebih dewasa. Rambutnya dipotong cepak dan sedikit jambul
di sisir ke atas di bagian depannya. Hanya 3 Tahun saja kami tidak berjumpa
tapi rasanya seperti puluhan tahun dengan perbedaan yang terjadi dari masa anak-anak
ke pubertas. Ups.. Sepertinya aku terlalu lama mengamati cowok nyebelin yang
suka usil ini.
“Dimasss, kamu dateng gak
bilang-bilang si?”
Aku mencubitnya manja.
“Biar surprise dong” Gayanya sok cool.
Dimas
tetap duduk dengan posisinya. Aku duduk di sampingnya dan mengamati lebih
dekat. Dimas mengacak-acak rambut kritingku sama seperti jaman SD bedanya kali
ini hanya lebih menggunakan perasaan saja. Setiap Dimas mengacak-acak rambutku
aku selalu marah dan mengadu ke Mama tapi kali ini aku pasrah. Menikmatinya dan
aku menemukan kenyamanan.
“Kamu nggak ada yang berubah ya
sama saja jelek”
Ledek Dimas dengan senyum jailnya.
Aku
manyun dan membalas mengacak-acak rambutnya. Tentunya tetap tidak menggunakan
perasaan. Aku tertawa terbahak-bahak melihar rambut rapinya berantakkan.
***
Aku
mencubit pipiku berulang kali saat aku duduk di belakangnya dan bisa memandangi
punggungnya yang mulai melebar lebih dekat. Sepertinya pikiranku semakin ngaco
dan lebay. Dulu aku dan Dimas selalu bersama-sama dan menghabiskan hari-hari
untuk bermain sepulang dari Sekolah Dasar. Sekarang Dimas kembali lagi bersama orang tuanya dan menetap di rumah
yang telah lama mereka sewakan. Aku sangat bahagia.
Saat
aku mulai menyukai cowok dan mengerti arti cakep selalu Dimas yang muncul di
otakku. Berseliweran tanpa mengenal permisi sampai membuatku susah
mengendalikan perasaanku yang semakin lelah memikirkannya. Memikirkan kapan
Dimas kembali
Jawaban
dari penantianku tidak semu lagi, kini
Dimas ada di sampingku lagi dan aku berharap selamanya tak akan pergi lagi.
“Cewek-cewek di sekolahmu ada
yang cantik-cantik gak?”
Dimas membuyarkan lamunanku yang menjadi-jadi dan mulai ngelantur. Spontan aku
mencubit perutnya, untung Dimas nggak lihat wajah manyunku.
“Dasar Mata keranjang” Aku mencibir.
“Ye... Sekolah itu butuh
motivasi dan cewek cakep yang buat makin rajin sekolah dan semangat sekolah” Ucapnya tanpa
menghiraukan perasaanku.
Dimas
mempercepat laju motornya. Aku menutup kaca helm doraemonku dan diam. Dimas
menyanyikan lagu milik Bruno Mars pelan kemudian keras. Membuatku pengen ketawa
dengar suara bassnya.
***
Rasanya
malas masuk kelas, pikiranku berkecambuk pengen marah pengen protes bahkan pengen
demo membawa spanduk di kantor guru dan bertuliskan “Jadikan kami satu kelas DIMAS dan DELLA”. Kelasku memang masih
cukup untuk masuk siswa baru lagi tetapi kelas X-3 lebih membutuhkan siswa
baru. Aku semakin nggak bisa leluasa mengamati Dimas. Tembok tinggi itu seperti
jarak ratusan mil. Aku melirik kelas Dimas. Aku mencoba menahan langkah kakiku
untuk tidak mengampirinya. Rasanya muncul gumpalan gengsi di dalam kepalaku,
tetapi tekatku berubah seperti bom yang kapan saja bisa meledak tanpa
dikenalikan. Aku melangkahkan kakiku mantap memasuki ruang X-3 yang kini
menjadi ruang kelas baru untuk Dimas.
Mataku
mencari-cari sosok bertubuh jungkis dan berambut jambul ayam. Mataku terhenti
di bangku nomor dua dari belakang. Dimas duduk bersama Niken dan terlihat
sangat asik mengobrol membuatku enggan untuk mendekatinya. Sesekali Niken
memainkan rambutnya yang terurai sebahu sambil mendengarkan Dimas yang asik
bercerita. Dimas diam dan mendengarkan Niken berganti menjadi pembicara. Mereka
lumayan dibilang cepat melakukan pendekatan.
Wajahku
mungkin terlihat kurang mengenakan membuat cowok-cowok yang nongkrong di depan
kelas meledekku dan mentertawakan aku abis-abisan.
“Cieee cembukur ni yeee”
Aku
melenggos dan mengacuhkan mereka. Aku kembali ke ruang kelas X-5 yang berjarak
satu kelas dengan kelas Dimas dengan hati nggak karuan. Rasanya seperti
diterbangkan di awan yang terdapat ribuan kupu-kupu kemudian dijatuhkan di atas
tanah berduri. Sakit. Perih.
Dimas hanya mengobrol dengan
teman barunya,
Kenapa aku bisa sampai segitu nggak terimanya si. Aku mencoba menenangkan batin
dan pikiranku. Mengalihkan pikiran tentang Dimas dan bergabung dengan teman-teman
cewek yang asik bergosip ria.
***
Rasa
yang terpendam di dalam hati ini seperti ingin meluap dan memuncratkan isinya.
Namun aku mencoba sekuat batinku untuk mendam. Aku tak ingin persahabatanku
dengan Dimas berantakan hanya dengan perasaanku yang mulai mengharapkan lebih
dari seorang teman. Aku menggemas perasaanku sedemikian rupa untuk menutupinya
dari Dimas.
Aku
masih menjunjung tinggi adat Jawa, jika seorang cewek itu harus sabar dan
menunggu lamaran bukan melamar. Meski cukup membuatku uring-uringan aku mampu
memendamnya sampai akhir kenaikkan kelas.
Kenaikkan
kelas kali ini aku berharap dapat memasuki kelas IPA karena IPA kelas yang di
cita-citakan Dimas untuk terus aktif di-ekstrakulikuler-karya-ilmiah-remaja. Harapan
yang lebih besar bukan hanya sekedar Kelas IPA tetapi aku bisa satu ruangan
dengan Dimas.
Aku
sangat menikmati mengagumimu dengan batas-batasan yang aku ciptakan sendiri.
Bersama
teman-teman yang sama berdebarnya seperti hatiku saat ini, aku ikut mengerumuni
papan informasi yang terdapat beberapa lembar kertas pengacakan ruang untuk
kelas X1 yang dibagi menjadi tujuh kelas saja yaitu empat kelas IPA dan tingga
kelas IPS. Sekolah kami meniadakan kelas khusus bahasa.
Riuh.
Ada
yang berpelukkan karena mereka dipertemukan kembali di kelas yang sama, ada
yang menyesali tidak masuk dalam kelas IPA atau IPS, ada yang menyayangkan satu
geng di kelas X harus bercerai berai di ruang kelas berbeda.
Mataku
tetap fokus menelurusi nama demi nama dengan telunjukku. Tiba-tiba saja ada
tangan yang menarik pundakku membuatku berpaling dan hampir membuatku naik
darah.
“Kita satu kelas” Dimas mengeraskan
suara ditengah keriuhan.
Aku
melompat kegirangan membuat Dimas bersenyum sinis dan menarik dasi panjangku
lumayan kuat membuatku langsung teriak sebal.
“senengkan sekelas sama orang
ganteng”
Ucapnya semakin besar kepala. Aku hanya mencibir dan mengucap “ALHAMDULILLAH”
dalam batin. Dimas menarik tanganku dari kerumunan manusia-manusia penasaran.
Hatiku dag-dig-dug gak karuan. Tangan Dimas yang dulunya biasa saja kini
berubah seperti aliran-listrik-bertegangan-tinggi.
Niken
dengan rambut ekor kudanya mendekatiku dan Dimas. Spontan Dimas melepaskan
tanganku agak cepat cukup membuatku kaget.
“Selamat ya Del, kita sekelas
juga lho”
Suara Niken sangat antusias tetapi terdengar lembut. Aku hanya tersenyum dan
kakiku mendadak lemas.
Niken
kembali sekelas dengan Dimas dan aku ada di ruang yang sama dengan mereka itu
artinya aku semakin sering melihat mereka semakin akrab. Ah kenapa nafasku
tiba-tiba terasa sesak.
***
Aku
duduk di atas kursi kayu buatan kakek sambil memandangi akuarium yang hanya
terisi separoh air dan 3 ekor ikan koki. Pandanganku kosong. Dimas duduk di
lantai sambil memainkan gitarnya. Dimas mengisyaratkan aku untuk bernyanyi
seperti biasanya. Aku dan Dimas selalu didekatkan karena lagu dan musik. Tapi
kali ini aku seperti kehilangan suaraku. Di tenggorokanku seperti ada biji
kedondong nyangkut. Hanya alibi karena moodku mendadak berubah sangat buruk.
“Akhirnya aku sekelas lagi
sama Niken”
jantungku seperti berhenti berdetak beberapa detik saat Dimas memulai
percakapan. Dimas menyenderkan Gitar ditembok dan mengambil butir-butir makanan
ikan kemudian menaburkan ke dalam akuarium. Ikan koki berebutan dengan bibir
monyongnya.
Aku
tidak bereaksi.
“Ikan ini diibaratkan aku,
kamu dan Niken, aku ada di satu ruangan yang lebar tetapi hanya ada dua orang
yang bisa mengerti dan memahami aku dan mampu beradaptasi dengan ku di lingkungan
yang lebih kecil”
Dimas berdalil.
Aku
menarik nafas dan mengembuskan pelan-pelan. Hati ini seperti ditusuk-tusuk
jarum kemudian dirobek menggunakan silet lalu ditaburi garam.
“kamu suka Niken?” Pertanyaan konyol
dan terlalu cepat aku tanyakan. Tidak terdengar aneh jika memang Dimas tetap
menganggapku sahabatnya sedari kecil. Pertanyaan seperti yang aku ucapkan
adalah pertanyaan wajar seorang sahabat
tanpa mencurigakan.
Dimas
diam. Terlihat raut wajah yang menunjukkan kesedihan di sana. Aku mengamati
lebih seksama dan memegang wajahnya untuk mengarahkan ke wajahku. Dimas
mengangguk kemudian kembali memandangi ikan koki yang masih berebut makanan.
“Kalian jadian” Nada bicaraku lebih
ditekan.
Aku
tak sabar menunggu jawaban yang terlontar dari mulut Dimas. Saat bibirnya mulai
bergerak rasanya aku ingin menutup kedua telinga. Aku takut jawaban itu
membuatku jatuh lebih jatuh dan patah.
“Maunya si begitu” Ucapnya datar.
Aku
menghembuskan nafas lega karena mereka belum jadian, di sisi lain hatiku
tersayat perih karena benar Dimas menginginkan Niken. Cewek manis, feminim,
lembut dan sangat perfect untuk ukuran pacar.
“First love is the most
wonderful life” matanya memancarkan keyakinan jika Niken
gadis yang akan membuatnya bahagia.
Dimas
tidak bercerita banyak tentang Niken. Dia tidak mengatakan kemajuan dalam
pendekatannya dengan Niken. Apa dia sudah mengatakan cintanya kemudian ditolak
ataukah dia hanya berani memendamnya seperti aku memendam dalam perasaanku
dengannya.
Dimas
terlalu tertutup masalah hati. Mungkin karena ini kali pertama dia merasakan
cinta terhadap lawan jenisnya. Ah mengapa Dimas tak menceritakan hatinya.
Aku
sudah bertahun-tahun bersamanya tetapi dia tidak menaruh sedikitpun perasaan
kepadaku. Sangat terbalik dengan keadaan hatiku terhadapnya saat ini.
***
Terik
matahari kali ini membuatku banyak mengeluarkan keringat, aku meneguk air
mineral tidak dingin dan mengusap mulut basahku dengan punggung tangan. Aku
mencari sosok Dimas. Tidak ada cowok pujaan hatiku. Aku menarik napas berat dan
mengebuskan cepat.
“Hai jangan melamun ntar
kesurupan lho”
Suara itu cukup membuatku kaget, aku melirik dengan mata menyipit. Bukan Dimas.
Perasaanku sedikit kecewa.
“Biar saja” Omelku datar kembali
melihat hamparan rumput yang mulai kering kekurangan air.
Hendri
duduk di sampingku. Hendri kakak kelas yang mendekatiku akhir-akhir ini. Aku
mulai akrab dengannya setelah aku aktif serta di kegiatan OSIS. Dia cukup
populer di sekolah. Gayanya cool tetapi sedikit arogan. Aku lumayan tertarik
dengan penampilan fisiknya. Tubuh 175cm, tegap dan lebih kekar dari Dimas.
Potongan rambutnya dibiarkan jabrik dengan minyak oles yang nggak pernah
kering. Kumis tipisnya mulai nengkreng di atas bibirnya yang tipis.
“Besok minggu nonton parade
band di SMA 2 yuk”
Hendri meletakkan kaki kanannya ke atas paha kaki kirinya. Matanya tetap ke
arahku.
Beberapa
detik aku berpikir. “Em liat besok ya,
aku kabarin” Aku sedikit memberikan harapan. Yah mungkin dengan aku mencoba
dekat dengan cowok lain aku bisa mengalihkan pikiranku tentang Dimas yang
semakin hari membuatku seperti tercekik.
***
Setelah
bel bubar sekolah aku langsung ngeluyur pergi. Rasanya hari ini benar-benar
membuatku lelah. Seharian Dimas menjauhiku. Dia juga nggak terlihat bersama
Niken. Sepertinya Niken lebih sering bergerombol bersama teman-temannya
dibanding dengan Dimas. Aku memang satu kelas dengan Niken tapi entah kenapa
aku tak pernah merasa dekat dengannya meski Niken selalu ingin mendekatiku.
Niken
bagaikan batang mawar yang kapan saja akan melukai hatiku dengan durinya. Dia
ramah tetapi tidak untukku. Entah, hatiku tak pernah bisa damai bersamanya. Aku
memilih biasa saja dengannya meski semua teman cewek dekat dan akrab dengan
Niken.
Aku
langsung memasukkan motor-mio-ku ke dalam Garasi. Kamar tempat ternyamanku kali
ini bukan sekolah tempat dimana aku bisa melihat Dimas dengan leluasa. Setelah
Dimas menginginkan Niken rasanya aku mulai ingin melangkah mundur dan mencoba
damai dengan perasaan ini.
Dimas
hanya teman kecilku yang akan selamanya menjadi teman. Aku tak akan merusak
kebersamaan ini hanya dengan perasaan yang menginginkan lebih dari sekedar
teman. Sungguh egois sekali hati ini.
Aku
meletakkan tas di meja belajar dan berbaring menatap atap kamar berhiaskan
burung-burung kertas. Aku memejamkan mata dan melenyapkan perasaan berkecambuk
di hati ini. Gagal. Senyum Dimas muncul dan berputar-putar di atas kepalaku.
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan tengkurep.
Ponselku
berdering pelan kemudian keras. Aku berbalik dan bangun mendekati tas. Aku
mengambil ponselku di kantong tas bagian luar.
Dimas-ku.
Layar ponselku muncul nama yang sedari tadi menghantui pikiranku. Aku menekan
Ok dan menjawab.
“Iya, ada apa mas”
“Ting aku mau ngomong
sesuatu”
nadanya pelan tetapi terdengar cepat.
Aku
membesarkan volume dan membaringkan tubuhku di ranjang.
“Tentang apa?” Suaruku terdengar
antusias.
“emmm...” Diam.
“ em
....Kamu mau jadi pacarku?” Aku memastikan pendengaranku benar. Semoga
Dimas tak mengerjaiku.
“Nggak usah bercanda deh” Aku jual mahal,
walau aku sejujurnya ingin mengatakan iya-aku-mau-pake-banget.
“Aku serius, ting” Sahut Dimas mantab.
Suaraku susah diajak kompromi. Pikiranku memaksa untuk tidak menjawab sekarang
tetapi mulutku susah dikendalikan.
“em bener juga sepertinya
kita harus mencoba, kita udah lama dekat dan apa salahnya kita lebih dari
teman”.
Bodoh. Aku telah melakukan sesuatu yang di atas batas nalarku. Aku terlalu
cepat memutuskan untuk menyetujui keinginannya. Aku seperti kehausan di padang
pasir yang kesulitan mencari air kemudian ada seseorang menawarkan segelas air
yang tak mungkin aku abaikan.
“Kamu serius?” Nada suaranya
meninggi. Dimas seperti tidak yakin dengan argumenku.
“Iya, aku menyukaimu sejak
kamu meninggalkanku. Aku merindukan kamu, Mas” Ucapku tanpa ragu.
Aku
tak mendengar reaksi Dimas. Hening. Mungkin dia menjauhkan ponselnya dan
menarik tangan ke bawah sampel mengepal dan tersenyum lebar. Ataukah dia
pingsan setelah mengungkapkan perasaannya dan kemudian diterima.
Dimas
tidak mengungkapkan perasaannya dia hanya bertanya untuk mengganti status baru
untukku. Ah.. aku tak memperdulikan itu. Aku sangat berharap setelah saling
menatap bola mata dia akan mengungkapkan perasaannya kalau dia juga sangat
menyukaiku. Dia mungkin malu untuk mengungkapkan sekarang.
***
0 komentar:
Posting Komentar