Lanjutan dari First Love Forever Love Part 1
Sumber gambar di sini |
Setelah
penembakkan dua hari lalu Dimas sering sekali mengirimiku pesan singat sok
perhatian dan rayu-rayuan gombalnya. Aku sangat bahagia akhirnya cinta yang
kukira akan melukaiku ternyata membuatku sangat berbunga-bunga. Dimas juga
menjemputku dan mengantarku. Mama Papa sangat senang melihat kedekatanku dengan
Dimas.
Di
kelas aku tak pernah melihat Dimas dan Niken bertegur sapa. Melirik saja mereka
enggan. Aku lega melihat keadaan ini. Niken tak lagi mengganggu kehidupanku dan
juga Dimas. Dimas mengodaiku dan memperhatikanku lebih dari biasanya. Sebagian
teman mengerti jika aku dan Dimas sepasang kekasih baru, sebagian lainnya tidak
begitu peduli karena sebelumnya aku dan Dimas memang telah dekat.
Aku
rasa Niken menjauhi Dimas karena dia mengetahui dari teman-teman kalau Dimas
telah menjadi milikku. Dia tak ingin dibilang orang ketiga. Aku tidak
memperdulikan alasan-alasan Niken menjauhi Dimas. Aku cukup-senang-melihat
mereka saling menjauhi.
Niken
selalu duduk di bangku paling depan dan jarang sekali menengok ke belakang.
Raut wajahnya masih terlihat ceria tidak ada kesedihan di sana. Tapi aku
melihat ada sesuatu yang tidak beres.
Seminggu
sudah aku berpacaran dengan Dimas tetapi Niken tak menyelamatiku sewajarnya
sahabat yang dekat dengan Dimas dan juga sebagai teman satu kelas. Dia memilih
menghindar dan menghabiskan waktu istirahat di luar kelas. Niken seperti
menutupi sesuatu yang tak akan pernah dia buka.
Aku
membereskan buku-buku pelajaran dan memasukkan ke dalam kelas. Aku selalu
menggunakan tas ransel besar yang memuat banyak barang beda dengan Niken yang
menggunakan tas kecil bergambar gadis jepang warna hitam kombinasi putih. Niken
masih sibuk mencatat pelajaran Kimia yang masih belum terhapus di papan tulis
bersama Rina.
“Aku pulang duluan ya” sahutku sambil
berlalu.
Mereka
hanya mengangguk dan kembali melihat papan tulis dan mencatat lebih cepat.
Dimas mendekati Niken untuk pertama kalinya setelah aku dan Dimas jadian. Dimas
mengacak-acak rambut Niken yang terurai.
“Pulangnya ati-ati ya, aku
pulang duluan”
Suaranya terdengar lembut penuh kasih sayang. Niken melihatnya kemudian melirik
ke arahku dan tersenyum tanpa berkomentar. Darahku mendadak mendidih.
***
Matahari
mulai berjalan ke arah barat dan sinarnya mulai meredup. Udara yang mulai
dingin menghantam bulu kudukku. Aku merangkulkan tanganku ke perut Dimas. Dimas
kemudian meletakkan tangannya di tanganku dan mengusapnya lembut. Aku merasa
nyaman. Kepalaku bersandar di bahunya saat dia memacu cepat motornya.
Ini
pertama kalinya aku berkencan dengan Dimas. Kita memutuskan pergi ke pantai
berdua saja. Kita sudah sangat sering bermain di pantai yang tidak jauh dari
kompleks rumah kami, hanya kali ini memang berdua. Tidak ada mama, papa, om
Doni, tante Sisil ataupun teman-teman. Kita berdua saja.
Bahagia
sekali. Sampai aku melupakan sesuatu yang harus aku pertanyakan untuknya.
Perlakuannya cukup menghipnotis aku dan membuatku lemah tak berdaya.
Aku
tidak mengkonfirmasi ulang alasan kenapa tiba-tiba menginginkan aku menjadi
kekasihnya. Apakah dia mencintaiku seperti aku mencintainya atau dia hanya
memanfaatkan aku untuk status kekasih. Aku tidak memperdulikan itu, aku cukup
menikmati semua ini. Aku bahagia.
Dimas
menggandeng tanganku erat seperti tak mau melepaskanku. Tangan yang lain membantu
membawakan sandalku. Kami menelusuri pantai dibawa langit yang senja. Aku
menyandarkan kepalaku di lengannya yang mulai berotot. Dimas mencium keningku
cepat dan dalam.
Langit
mulai memuncratkan awan berwarna merah jingga. Matahari separoh tengelam di
dasar laut. Burung-burung riang mengepakkan sayapnya meninggalkan permukaan
laut. Sungguh senja itu indah tetapi cepat berlalu. Senja hanya sementara. Aku
tak ingin kebersamaanku bersama Dimas seperti hadirnya senja untuk langit. Aku
ingin hubungan ini cukup seindah senja.
Dimas
duduk beralaskan sandal sambil merangkulku penuh kasih. Aku menikmatinya sambil
memandangi hamparan laut yang mulai gelap.
“I love you” Kataku.
“I love you too”
Andai
aku memiliki tombol waktu aku akan mem-pause
kencan-pertama-ku-bersama-cinta-pertamaku ini.
***
Sebenarnya
aku tak terlalu peduli dengan Niken. Entah saat ini ada sesuatu yang tidak
beres menghantui perasaanku. Dimas tak lagi seperhatian dulu ketika berada di
sekolah terkhusus di kelas. Dimas kembali datar seperti pertama sebelum jadian.
Dimas seakan sedang menjaga hati yang lain.
Dimas
sangat romantis di rumah dan di luar lingkungan sekolah kenapa tiba-tiba dia
berubah drastis ketika di sekolah. Aku tak lagi dispesialkan. Hatiku kembalih
merintih.
Tak
sengaja saat pelajaran musik usai aku memergoki Dimas berbincang dengan Niken.
Setelah sekian hari aku merasa lega mereka tak lagi saling menghiraukan kini
hatiku mulai gundah kembali.
Dimas
mengulurkan ikat rambut berbulu warna pink-bitu ke arah Niken. Niken
menyambutnya sambil manyun. Seperti isyarat yang tidak disukainya. Akhir-akhir
ini memang Niken selalu membiarkan rambutnya terurai dan poninya seperti dora
dibiarkan ke depan. Beda saat masih
dekat dengan Dimas, Niken selalu membuat kuncir kuda di rambutnya.
Pernah
saat di kelas dan guru sedang menjelaskan rumus logaritma, tanpa Dimas sadari
aku melihat dia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya dan mengucapkan “ i
love you” ke arah Niken yang duduk di barisan paling depan. Niken hanya
tersenyum malu-malu tanpa membalas apapun, kemudian menghadap ke depan kembali dan
tetap tersenyum. Muak sekali aku mengingatnya kembali.
“Dimaaas” Sentakku di seberang
ruang aula belakang laboratorium kimia.
Dimas
menatapku dan mengampiriku tanpa merasa bersalah. Dia tak mengerti betapa
sakitnya aku saat melihatnya bersama Niken, cewek yang pernah dia inginkan. Aku
masih memasang muka jutek. Berharap Dimas lebih peka dan berjanji menjauhi Niken
kembali seperti saat pertama jadian.
“Nggak usah jealous, Niken sahabatku” Ucapnya seolah bisa
membaca pikiranku.
Aku
hanya mencibir dan melangkah cepat meninggalkan Dimas di koridor dekat kantor
guru. Dimas tak mengejarku, dia malah kembali asik berkumpul dengan
teman-temannya di lapangan basket.
****
Dimas
masih milikku seperti yang aku inginkan, tetapi mengapa jiwanya terasa jauh tak
tergapai. Jatuh cinta itu seperti porselin kaca yang diletakkan di ujung meja
yang kapan saja bisa terjatuh dan pecah tanpa bisa dibentulkan kembali.
Aku
ingin melenyapkan Niken dari kehidupanku dan juga Dimas. Niken sosok gadis yang
tak pernah bisa damai berdekatan dengan hidupku. Aku sangat membencinya. Aku
hanya tahu Niken salah telah menghalangi kebersamaku bersama Dimas, telah
berusaha mengganti posisiku di hati Dimas. Aku sangat tak suka.
Entah
aku yang egois atau Niken yang egois aku tak pernah memastikan kebenarannya.
Aku hanya menginginkan Dimas tetap mengistimewakan aku, mencintai aku dan
menyayangi aku seperti dulu hingga seminggu terakhir ini. Hanya itu tidak
lebih.
“Ting, setelah beberapa hari
aku memikirin kamu, sekarang aku dah nemu jawabnnya” Dimas menghentikan katanya
dan menyusun dengan lebih hati-hati. Keningnya berkerut. Aku tak ingin dengar
kelanjutannya. Perasaanku tak enak.
“Kita memang hanya bisa
menjadi teman, tidak bisa lebih seperti yang aku inginkan” Kepalanya menunduk
tak berani menatapku. Aku meraih kedua tangannya yang dingin dan berkeringat.
“Kita belajar sama-sama untuk
menjadi lebih dari teman, kita bisa” Ajakku.
Dimas
menggenggam tanganku lebih kuat.
“Aku menyayangimu tapi
sebagai teman tidak bisa lebih” Dimas tetap bersikukuh dengan perkataan
pertamanya.
Kakiku
lemas. Jantungku berhenti berdetak. Aku melepaskan pegangan tangannya. Sekuat
tenaga aku membendung air mataku yang semakin berat berderet di pinggir bola
mataku. Tak berani aku menatapnya.
Aku
menyerah.
“Baiklah, semoga kamu
menemukan orang yang bisa membuatmu nyaman dan menjadi lebih dari sesosok teman
untuk kehidupan kamu nanti”.
Tanpa menunggu jawabannya aku menepuk bahunya dan berjalan meninggalkan Dimas
yang berdiri dengan wajah menunduk di pinggir jalan dekat rumah kami.
****
Malam
ini hujan turun sangat lebat seakan ikut berduka menyaksikan aku patah hati.
Porselin kaca yang indah di pinggir meja telah jatuh ke lantai.
Keping-kepingannya berserakan tak karuan. Butuh waktu lama untuk mengumpulkan
kepingannya yang membuat jari terluka.
Air
mataku tak henti menetes di atas bantal banana yang warnanya mulai usang. Hati
ini sangat perih. Mengapa pertama
mengenal cinta aku juga dikenalkan dengan luka? Bukankah cinta itu tidak
selayaknya berdampingan langsung dengan luka. Cinta itu suci yang tak pantas
dilukai.
Dimas
memang kembali didekatku tetapi tidak dengan hatinya. Dimas memang sahabatku
tetapi tidak mengerti perasaanku. Bukannya sahabat selalu mengerti perasaan
sahabatnya. Mengapa tidak dengan persahabatku dengan Dimas?
“Dimas, you are my first
love”
Bisikku ditengah gemercik hujan menghantap dahan, ranting dan atap rumah.
****
Tidak
ada yang mudah untukku mengembalikan keping-keping hati menjadi utuh kembali.
Sekuat raga dan jiwa membenahi tetap saja masih rapuh dan berkeping kembali.
Hendri berusaha terus mengindahkan aku dan menyanjungku, tetapi tidak cukup
untuk memikatku. Sangat sulit membuka pintu yang lain setelah aku mencoba
memutup pintuku sendiri.
Bayang-bayang
Dimas masih lekat di benak dan pikiranku. Sosoknya sulit tergantikan di relung
hatiku yang terdalam. Meski aku mencoba menerima Hendri aku tetap memposisikan
Hendri setelah Dimas. Artinya Dimas tetap nomor satu.
Dimas
tetaplah menjadi pengisi jiwa yang kelam. Tetap menjadi bongkahan es di padang
pasir yang panas.
Dimas
tetaplah pangeranku meski hatinya untuk putri yang lain.
Kini
sosoknya semakin jauh tak tersentuh lagi. Dimas telah menemukan dermaga baru
yang lebih kuat mencengkramnya dengan jutaan untai tali di sana. Dimas telah
kembali bersama Niken.
“Sebenarnya kamu sama Dimas
jadian nggak si?”.
Rina semakin kepo dan penasaran. Aku tak menjawab.
“Denger-denger si Niken
akhirnya terima Dimas”
Kata Keyla.
“Iya tu Keren, Dimas terus
berjuang padahal dah ditolak puluhan kali” Timpal Fina antusias.
Jleg....
Detak jantungku semakin cepat berdetak. Aliran darahku meninggi. Mataku semakin
panas dan berat air mata. “Puluhan kali
Dimas mengatakan Cinta ke Niken” aku memahami perkatakan Fina. Kenapa Dimas tak pernah sekalipun berbagi
cerita mengenai hal itu. Aku sungguh kecewa.
Bodoh.
Kenapa sampai sekarang aku tak pernah mengkonfirmasi perasaan Dimas buat aku
setelah semuanya berakhir.
Tak
ada yang bisa disalahkan antara aku dan Dimas. Aku menikmati kebersamaannya dan
Dimas menikmati peran status yang belum pernah dia perankan. Aku pacar pertamanya tetapi bukan cinta
pertamanya.
Saat
ini aku hanya bisa menyaksikan kemesraan Dimas bersama Niken di ruang kelas
yang sama denganku setelah aku memutuskan dan mempublic kedekatanku dengan
Hendri si kakak kelas yang tanpa bosan merayuku sampai akhirnya aku menyerah
dan luluh.
Mungkin
Dimas menganggap aku telah benar-benar melupakannya sehingga dia tak perlu
menjaga hatiku lagi dan bermesraan bersama Niken tanpa merasa bersalah. Namun
tanggapan itu salah. Aku tetap memposisikan Dimas di relung hati terdalam tanpa
aku berani menyentuhnya.
Meski
kini ada Hendri, aku tetap mencintai Dimas dan berharap Dimas kembali dan
benar-benar kembali untukku. Walau itu sangat tipis kemungkinannya. Dimas
sangat mencintai Niken dan Niken-pun sebaliknya. Mereka pasangan yang membuat
seisi sekolah cemburu. Mereka benar-benar membuatku iri.
Sekuat
hati aku mencoba menerima Niken di kehidupanku menjadi sesosok teman tetap tak
pernah berhasil. Niken dan aku selalu memiliki batasan yang memisahkan dan aku
tak pernah bisa menjelaskan batasan itu. Entah itu batasan yang aku ciptakan
atau memang benar ada batasan di sana.
Tetap....
Dimas,
My first love and Forever love. Semoga
kamu mengerti perasaanku dan menimbangnya kembali sebagai sosok yang pantas
diletakkan direlung hatimu.
-end-
0 komentar:
Posting Komentar