Minggu, 02 Maret 2014

First Love Forever Love Part 2




Sumber gambar di sini 


Setelah penembakkan dua hari lalu Dimas sering sekali mengirimiku pesan singat sok perhatian dan rayu-rayuan gombalnya. Aku sangat bahagia akhirnya cinta yang kukira akan melukaiku ternyata membuatku sangat berbunga-bunga. Dimas juga menjemputku dan mengantarku. Mama Papa sangat senang melihat kedekatanku dengan Dimas.

Di kelas aku tak pernah melihat Dimas dan Niken bertegur sapa. Melirik saja mereka enggan. Aku lega melihat keadaan ini. Niken tak lagi mengganggu kehidupanku dan juga Dimas. Dimas mengodaiku dan memperhatikanku lebih dari biasanya. Sebagian teman mengerti jika aku dan Dimas sepasang kekasih baru, sebagian lainnya tidak begitu peduli karena sebelumnya aku dan Dimas memang telah dekat.

Aku rasa Niken menjauhi Dimas karena dia mengetahui dari teman-teman kalau Dimas telah menjadi milikku. Dia tak ingin dibilang orang ketiga. Aku tidak memperdulikan alasan-alasan Niken menjauhi Dimas. Aku cukup-senang-melihat mereka saling menjauhi.

Niken selalu duduk di bangku paling depan dan jarang sekali menengok ke belakang. Raut wajahnya masih terlihat ceria tidak ada kesedihan di sana. Tapi aku melihat ada sesuatu yang tidak beres.

Seminggu sudah aku berpacaran dengan Dimas tetapi Niken tak menyelamatiku sewajarnya sahabat yang dekat dengan Dimas dan juga sebagai teman satu kelas. Dia memilih menghindar dan menghabiskan waktu istirahat di luar kelas. Niken seperti menutupi sesuatu yang tak akan pernah dia buka.
http://www.dbc-network.com/?id=kantongberlianku

Aku membereskan buku-buku pelajaran dan memasukkan ke dalam kelas. Aku selalu menggunakan tas ransel besar yang memuat banyak barang beda dengan Niken yang menggunakan tas kecil bergambar gadis jepang warna hitam kombinasi putih. Niken masih sibuk mencatat pelajaran Kimia yang masih belum terhapus di papan tulis bersama Rina.

“Aku pulang duluan ya” sahutku sambil berlalu.

Mereka hanya mengangguk dan kembali melihat papan tulis dan mencatat lebih cepat. Dimas mendekati Niken untuk pertama kalinya setelah aku dan Dimas jadian. Dimas mengacak-acak rambut Niken yang terurai.

“Pulangnya ati-ati ya, aku pulang duluan” Suaranya terdengar lembut penuh kasih sayang. Niken melihatnya kemudian melirik ke arahku dan tersenyum tanpa berkomentar. Darahku mendadak mendidih.


***


Matahari mulai berjalan ke arah barat dan sinarnya mulai meredup. Udara yang mulai dingin menghantam bulu kudukku. Aku merangkulkan tanganku ke perut Dimas. Dimas kemudian meletakkan tangannya di tanganku dan mengusapnya lembut. Aku merasa nyaman. Kepalaku bersandar di bahunya saat dia memacu cepat motornya.

Ini pertama kalinya aku berkencan dengan Dimas. Kita memutuskan pergi ke pantai berdua saja. Kita sudah sangat sering bermain di pantai yang tidak jauh dari kompleks rumah kami, hanya kali ini memang berdua. Tidak ada mama, papa, om Doni, tante Sisil ataupun teman-teman. Kita berdua saja.

Bahagia sekali. Sampai aku melupakan sesuatu yang harus aku pertanyakan untuknya. Perlakuannya cukup menghipnotis aku dan membuatku lemah tak berdaya.

Aku tidak mengkonfirmasi ulang alasan kenapa tiba-tiba menginginkan aku menjadi kekasihnya. Apakah dia mencintaiku seperti aku mencintainya atau dia hanya memanfaatkan aku untuk status kekasih. Aku tidak memperdulikan itu, aku cukup menikmati semua ini. Aku bahagia.

Dimas menggandeng tanganku erat seperti tak mau melepaskanku. Tangan yang lain membantu membawakan sandalku. Kami menelusuri pantai dibawa langit yang senja. Aku menyandarkan kepalaku di lengannya yang mulai berotot. Dimas mencium keningku cepat dan dalam.

Langit mulai memuncratkan awan berwarna merah jingga. Matahari separoh tengelam di dasar laut. Burung-burung riang mengepakkan sayapnya meninggalkan permukaan laut. Sungguh senja itu indah tetapi cepat berlalu. Senja hanya sementara. Aku tak ingin kebersamaanku bersama Dimas seperti hadirnya senja untuk langit. Aku ingin hubungan ini cukup seindah senja.

Dimas duduk beralaskan sandal sambil merangkulku penuh kasih. Aku menikmatinya sambil memandangi hamparan laut yang mulai gelap.

“I love you” Kataku.

“I love you too”

Andai aku memiliki tombol waktu aku akan mem-pause kencan-pertama-ku-bersama-cinta-pertamaku ini.


***

Sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan Niken. Entah saat ini ada sesuatu yang tidak beres menghantui perasaanku. Dimas tak lagi seperhatian dulu ketika berada di sekolah terkhusus di kelas. Dimas kembali datar seperti pertama sebelum jadian. Dimas seakan sedang menjaga hati yang lain.

Dimas sangat romantis di rumah dan di luar lingkungan sekolah kenapa tiba-tiba dia berubah drastis ketika di sekolah. Aku tak lagi dispesialkan. Hatiku kembalih merintih.

Tak sengaja saat pelajaran musik usai aku memergoki Dimas berbincang dengan Niken. Setelah sekian hari aku merasa lega mereka tak lagi saling menghiraukan kini hatiku mulai gundah kembali.

Dimas mengulurkan ikat rambut berbulu warna pink-bitu ke arah Niken. Niken menyambutnya sambil manyun. Seperti isyarat yang tidak disukainya. Akhir-akhir ini memang Niken selalu membiarkan rambutnya terurai dan poninya seperti dora dibiarkan ke depan.  Beda saat masih dekat dengan Dimas, Niken selalu membuat kuncir kuda di rambutnya.

Pernah saat di kelas dan guru sedang menjelaskan rumus logaritma, tanpa Dimas sadari aku melihat dia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya dan mengucapkan “ i love you” ke arah Niken yang duduk di barisan paling depan. Niken hanya tersenyum malu-malu tanpa membalas apapun, kemudian menghadap ke depan kembali dan tetap tersenyum. Muak sekali aku mengingatnya kembali.

“Dimaaas” Sentakku di seberang ruang aula belakang laboratorium kimia.

Dimas menatapku dan mengampiriku tanpa merasa bersalah. Dia tak mengerti betapa sakitnya aku saat melihatnya bersama Niken, cewek yang pernah dia inginkan. Aku masih memasang muka jutek. Berharap Dimas lebih peka dan berjanji menjauhi Niken kembali seperti saat pertama jadian.

 “Nggak usah jealous, Niken sahabatku” Ucapnya seolah bisa membaca pikiranku.

Aku hanya mencibir dan melangkah cepat meninggalkan Dimas di koridor dekat kantor guru. Dimas tak mengejarku, dia malah kembali asik berkumpul dengan teman-temannya di lapangan basket.

****

Dimas masih milikku seperti yang aku inginkan, tetapi mengapa jiwanya terasa jauh tak tergapai. Jatuh cinta itu seperti porselin kaca yang diletakkan di ujung meja yang kapan saja bisa terjatuh dan pecah tanpa bisa dibentulkan kembali.

Aku ingin melenyapkan Niken dari kehidupanku dan juga Dimas. Niken sosok gadis yang tak pernah bisa damai berdekatan dengan hidupku. Aku sangat membencinya. Aku hanya tahu Niken salah telah menghalangi kebersamaku bersama Dimas, telah berusaha mengganti posisiku di hati Dimas. Aku sangat tak suka.

Entah aku yang egois atau Niken yang egois aku tak pernah memastikan kebenarannya. Aku hanya menginginkan Dimas tetap mengistimewakan aku, mencintai aku dan menyayangi aku seperti dulu hingga seminggu terakhir ini. Hanya itu tidak lebih.

“Ting, setelah beberapa hari aku memikirin kamu, sekarang aku dah nemu jawabnnya” Dimas menghentikan katanya dan menyusun dengan lebih hati-hati. Keningnya berkerut. Aku tak ingin dengar kelanjutannya. Perasaanku tak enak.


“Kita memang hanya bisa menjadi teman, tidak bisa lebih seperti yang aku inginkan” Kepalanya menunduk tak berani menatapku. Aku meraih kedua tangannya yang dingin dan berkeringat.

“Kita belajar sama-sama untuk menjadi lebih dari teman, kita bisa” Ajakku.

Dimas menggenggam tanganku lebih kuat.

“Aku menyayangimu tapi sebagai teman tidak bisa lebih” Dimas tetap bersikukuh dengan perkataan pertamanya.

Kakiku lemas. Jantungku berhenti berdetak. Aku melepaskan pegangan tangannya. Sekuat tenaga aku membendung air mataku yang semakin berat berderet di pinggir bola mataku. Tak berani aku menatapnya.

Aku menyerah.

“Baiklah, semoga kamu menemukan orang yang bisa membuatmu nyaman dan menjadi lebih dari sesosok teman untuk kehidupan kamu nanti”. Tanpa menunggu jawabannya aku menepuk bahunya dan berjalan meninggalkan Dimas yang berdiri dengan wajah menunduk di pinggir jalan dekat rumah kami.

****

Malam ini hujan turun sangat lebat seakan ikut berduka menyaksikan aku patah hati. Porselin kaca yang indah di pinggir meja telah jatuh ke lantai. Keping-kepingannya berserakan tak karuan. Butuh waktu lama untuk mengumpulkan kepingannya yang membuat jari terluka.

Air mataku tak henti menetes di atas bantal banana yang warnanya mulai usang. Hati ini sangat perih. Mengapa pertama mengenal cinta aku juga dikenalkan dengan luka? Bukankah cinta itu tidak selayaknya berdampingan langsung dengan luka. Cinta itu suci yang tak pantas dilukai.

Dimas memang kembali didekatku tetapi tidak dengan hatinya. Dimas memang sahabatku tetapi tidak mengerti perasaanku. Bukannya sahabat selalu mengerti perasaan sahabatnya. Mengapa tidak dengan persahabatku dengan Dimas?

“Dimas, you are my first love” Bisikku ditengah gemercik hujan menghantap dahan, ranting dan atap rumah.


****


Tidak ada yang mudah untukku mengembalikan keping-keping hati menjadi utuh kembali. Sekuat raga dan jiwa membenahi tetap saja masih rapuh dan berkeping kembali. Hendri berusaha terus mengindahkan aku dan menyanjungku, tetapi tidak cukup untuk memikatku. Sangat sulit membuka pintu yang lain setelah aku mencoba memutup pintuku sendiri.


Bayang-bayang Dimas masih lekat di benak dan pikiranku. Sosoknya sulit tergantikan di relung hatiku yang terdalam. Meski aku mencoba menerima Hendri aku tetap memposisikan Hendri setelah Dimas. Artinya Dimas tetap nomor satu.

Dimas tetaplah menjadi pengisi jiwa yang kelam. Tetap menjadi bongkahan es di padang pasir yang panas.
Dimas tetaplah pangeranku meski hatinya untuk putri yang lain.


Kini sosoknya semakin jauh tak tersentuh lagi. Dimas telah menemukan dermaga baru yang lebih kuat mencengkramnya dengan jutaan untai tali di sana. Dimas telah kembali bersama Niken.

“Sebenarnya kamu sama Dimas jadian nggak si?”. Rina semakin kepo dan penasaran. Aku tak menjawab.


“Denger-denger si Niken akhirnya terima Dimas” Kata Keyla.


“Iya tu Keren, Dimas terus berjuang padahal dah ditolak puluhan kali” Timpal Fina antusias.

Jleg.... Detak jantungku semakin cepat berdetak. Aliran darahku meninggi. Mataku semakin panas dan berat air mata. “Puluhan kali Dimas mengatakan Cinta ke Niken” aku memahami perkatakan Fina.  Kenapa Dimas tak pernah sekalipun berbagi cerita mengenai hal itu. Aku sungguh kecewa.

Bodoh. Kenapa sampai sekarang aku tak pernah mengkonfirmasi perasaan Dimas buat aku setelah semuanya berakhir.

Tak ada yang bisa disalahkan antara aku dan Dimas. Aku menikmati kebersamaannya dan Dimas menikmati peran status yang belum pernah dia perankan.  Aku pacar pertamanya tetapi bukan cinta pertamanya.

Saat ini aku hanya bisa menyaksikan kemesraan Dimas bersama Niken di ruang kelas yang sama denganku setelah aku memutuskan dan mempublic kedekatanku dengan Hendri si kakak kelas yang tanpa bosan merayuku sampai akhirnya aku menyerah dan luluh.

Mungkin Dimas menganggap aku telah benar-benar melupakannya sehingga dia tak perlu menjaga hatiku lagi dan bermesraan bersama Niken tanpa merasa bersalah. Namun tanggapan itu salah. Aku tetap memposisikan Dimas di relung hati terdalam tanpa aku berani menyentuhnya.

Meski kini ada Hendri, aku tetap mencintai Dimas dan berharap Dimas kembali dan benar-benar kembali untukku. Walau itu sangat tipis kemungkinannya. Dimas sangat mencintai Niken dan Niken-pun sebaliknya. Mereka pasangan yang membuat seisi sekolah cemburu. Mereka benar-benar membuatku iri.

Sekuat hati aku mencoba menerima Niken di kehidupanku menjadi sesosok teman tetap tak pernah berhasil. Niken dan aku selalu memiliki batasan yang memisahkan dan aku tak pernah bisa menjelaskan batasan itu. Entah itu batasan yang aku ciptakan atau memang benar ada batasan di sana.

Tetap....

Dimas, My first love and Forever love.  Semoga kamu mengerti perasaanku dan menimbangnya kembali sebagai sosok yang pantas diletakkan direlung hatimu.



-end-


0 komentar:

Posting Komentar

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang