Jumat, 31 Januari 2014

Kalau Bukan Cinta, Lalu Apa? #1



“Aku titip gaun pengantin ini ya, nanti mau diambil nona Syla” Ucapku sambil merapikan Gaun pengantin warna putih  dengan kombinasi renda dan bunga pink menyebar di seluruh sisi gaun. Bibirku tak henti tersenyum memandangi gaun pengantin dominasi pink warna kesukaanku. Gerak tanganku semakin lincah saat memeriksa centi demi centi jahitan yang menyatukan bunga kecil berwarna pink dengan gaun berenda pink perak. Jam kerja belum seutuhnya habis tapi aku harus segera keluar dari butik baju pengantin tempatku bekerja. Miss Rena selalu mengijinkan karyawannya keluar sesukanya, mungkin dia udah cukup kaya sehingga tak memperdulikan karyawannya yang bandel sepertiku. Beruntungnya bekerjasama dengan Miss Rena.

“Semoga berjalan lancar ya, Beb” Teriak Miss Rena sambil memandangiku berjalan menjauhi butik. Sinta mengajungkan kedua jempolnya dan mengerling genit. Rupanya teman-temanku sangat memperhatikan aku dan mengucapkan selamat karena hari ini Anniversary-ku yang ke -7 dengan Dony. Berpacaran yang sangat lama. Aku sangat semangat untuk bertemu Dony semoga Anniversary kali ini dia melamarku. Aku menarik nafas panjang dan memanjatkan doa. Senyumku melebar dan langkah kakiku terasa ringan.

Kakiku perih menahan heels yang seharian aku kenakan. Aku mondar-mandir dan tak henti memandangi jam yang melinggar di tangan kiriku. 19.30 seharusnya bertemu jam 19.00. “Mungkin Dony kena macet” batinku menghibur. Aku duduk kembali dan menyeruput mocacinno yang kupesan. Kerongkonganku terasa hangat. Mataku melirik sudut cafe dimana ada seorang cowok duduk dengan laptopnya dan dua cangkir coffe. Mejanya cukup berantakan untuk kulihat. Mungkin dia sudah lebih lama menunggu dibanding aku. Aku mulai bersabar. 

“Maaf sayang, aku telat” Dony mencium pipiku dan mataku masih tertuju ke cowok berambut pelontos  dengan kemeja ungu muda. Aku memukul pundaknya manja. “Kenapa si kamu nggak pernah ingat hari spesial kita?” Bibirku semakin manyun. 

Dony membelai rambutku kemudian tangannya menyetuh hidungku. “Aku ingat, sayang”. Akhirnya aku memaksakan untuk tersenyum. Pramuniaga mendatangi meja kami untuk mengantar coklat hangat dan cup cake lucu yang sudah kupesan.

“Happy Anniversary” Dony menarik tanganku lembut. Aku membalasnya dan tersenyum manja. Setiap hari aku sibuk dengan pekerjaanku di butik baju pengantin dan baby shop online-ku sementara Dony sibuk dengan bisnisnya di bidang property dan kuliah S2-nya. Sikap Dony sangat manis tetapi membosankan. Dia sama sekali tak tertarik membahas tentang pernikahan sementara aku sangat menginginkan pernikahan. Aku sangat antusias membicarakan gaun pernikahan, pesta, siapa yang diundang  dan pakaian bayi.

“Gimana kerjanya hari ini” Dony membuyarkan lamunanku. Aku menatap matanya lekat. 

“Mengasikkan, di tempat kerjaku ini aku bisa ngejalanin online shop-ku lho Miss Rena baik banget. Aku nggak mau ngecewain beliau.” Aku berusaha ceria meski ini bukan topik pembicaraan yang aku harapkan. 

“Syukurlah” Doni mengelah nafas dan tersenyum manis. 

“Apa kita nggak membicarakan sesuatu yang penting” Aku memancing topik yang aku nantikan. Dony mencomot cup cake dan menggigitnya. “Rasanya belum berubah ya” Dia terus mengalihkan pembicaraan. Aku sangat kecewa. Aku menahan diri untuk tidak teriak dengan meremas tanganku sendiri. 

“apa kamu udah gak cinta aku lagi?” Batinku. Sungguh  konyol kalau aku menanyakan hal ini. Aku udah cukup lama bersamanya dan 7 tahun bertahan bukan karena cinta lalu karena apa???

Rasanya aku pengin melempar cup cake ke wajahnya. Gemas. 



Hari ini rasanya aku nggak bisa menghirup udara segar. Sesak dadaku. Mataku tertuju pada toko bunga yang menjual bunga-bunga segar lengkap dengan tangkainya. Cantik.

“Kamu nggak ada romantisnya si nggak pernah ngasih aku bunga” ucapku polos ketika itu. 

“Ah besok aku belikan sama potnya sekalian” Dony sewot. 

Aku memukul jidatku. Kenapa aku memikirin hal konyol lagi. Diusia 25 tahun  dan cukup lama berpacaran masih mengharapkan hal romantis macam itu. Aku menarik nafas panjang dan melanjutkan jalan ke arah butik aku bekerja. Setiap hari aku jalan kaki menelusuri kios dipinggiran apartemanku tinggal. Hampir seluruh pemilik kios mengenaliku.

“Selamat Pagi” sapaku lemas.

“Lemes banget kamu, Del” Sinta merangkul pundakku. Aku mengembuskan nafas panjang. Sinta cukup paham dengan reaksiku, dia lama berteman denganku dan mengetahui kisah percintaanku yang dramatis. 


“Udah sabar aja, mungkin Dony lagi sibuk sama kerjaan dan S2nya. Semangat” Hibur Sinta dengan gaya centilnya. 

Aku mulai bekerja tanpa menghiraukan pikiranku yang semakin berkecambuk. 

@@@@

Aku memesan tempat duduk yang kemarin ku pesan bersama Dony. Kali ini aku datang sendiri. Rasanya malas untuk pulang ke aparteman. 

Pemandangan di Cafe ini lumayan bagus jadi aku betah berlama-lama di tempat ini. Ribuan lampu yang ada diperkotaan terlihat seperti ribuaan bintang yang nggak mungkin terlihat di Jakarta. Keindahannya  bisa menghapus air mataku.
Mataku berkeliling dan terhenti di sudut Cafe. Cowok pelontos berkemeja putih masih asik dengan laptopnya. Lagi-lagi  dengan 2 cangkir . 

“Semoga dia bukan hantu pojok” Bisikku terkekeh. 

Aku memberanikan diri mendekati cowok bertampang suram itu. 

Hei lagi nunggu seseorang?” Ucapku ceria

Cowok itu tanpa reaksi. Aku melampaikan tanganku ke wajahnya. 

“Haiiissss, ada apa?” Dia melepaskan heatset dari kupingnya. “Oh” 

“Lagi nunggu seseorang?” Aku mengulangi pertanyaanku. 

“Enggak” Jawabnya singat. Cowok ini membuatku semakin penasaran. Gayanya cool dan terlihat sangat jual mahal. 

“oh” aku melangkah pergi. 

“Tunggu” dia menarik lenganku. Jantungku berhenti berdetak. 

“Bisa kan kita duduk sama-sama di sini, pasti lo sendirian” Dia menatap mataku lengkat. Sangat membuatku salah tingkah. Aku mengedipkan mata seolah tak tergoda. 

“ eh, iya. Ehm gue ambil minuman di meja gue dulu ya” 

Semenit kemudian aku sudah duduk di depan cowok berambut pelontos, berhidung macung, matanya coklat dan kalau senyum ada semacam lekukan di pipi kirinya. Manis. 

“Setiap lo dateng ke sini biasanya sama cowok  lo” Ucapnya setelah mengobrol panjang lebar. 

“Setiap...emang lo sering liat gue ke sini” Tanyaku penasaran. 

“iya setiap selasa, jumat dan sabtu malam lo selalu duduk di kursi itu dan memesan mocacinno coklat panas dan 6 cup cake. Lo juga suka ngomel kalau cowok lo dateng telat Lo juga suka protes kalau cup cake yang lo pesen habis Lo juga mengembalikan mocacinnonya yang kurang manis” Ucapnya tanda titik dan koma.  Aku diam dan membiarkan mulutku sedikit terbuka karena kaget. 

“Hei cewe cerewet, nggak usah ngeliatin gue kayak gitu kali” Dia menunjuk dahiku dengan jari telunjuknya sampai membuatku hampir jatoh. 

“Lo? Lo bener-bener cowok nyebelin yang pernah gue temui” Aku meraih tas dan melangkah pergi. Wajahku bener-benar terlihat dengan mood yang sangat buruk.

“Della, nama gue Roni “ Sambil tersenyum puas saat aku meliriknya. Haissss dia mengenali namaku. Aku pergi tanpa menghiraukannya. 

@@@@

Aku masih sangat penasaran dengan cowok pelontos penunggu pojok cafe. Aku terus memikirkannya. Sifatnya sangat susah ditebak. Cuek, Jutek, Asik, Rame,  dan terkadang usil. 

Kring....kring...kringgg

“Halo, sayang”

“Maaf sayang, hari ini aku ada rapat. Kita nggak usah ketemu dulu ya” 

Aku melirik kalender. “Nggak biasanya sabtu malam begini rapat” Ucapku kecewa. 

Iya ne, hari senin aku janji maen ke tempat kamu ya” Dony berusaha memenangkan hariku

“Iya” Ucapku pelan tanpa gairah.

Entah kenapa kali ini hatiku berdetak nggak seperti biasanya. Nggak mungkin Dony melakukan itu. Aku menepis pikiran negatifku. Aku berusaha memejamkan mataku. Berat. 

@@@@

Aku mulai akrab dengan Roni penunggu pojok Cafe. Aku sering menghabiskan waktu sepulang kerja di cafe itu. Rupanya Roni bukan cowok buruk seperti anggapanku. Dia hanya sedikit angkuh. 

“Tiap hari lo  nungguin cewek lo di sini?” ucapku tiba-tiba.

“Iya gue yakin dia bakalan datang ke sini lagi” Ucapnya tanpa melihat. 

“Dasar bodoh”umpatku.

“Lo pikir, lo bisa bertahan dengan hubungan tanpa cinta” Dia menatapku seperti mengancam. 

“Tutup mulut lo, Doni cinta banget sama gue, gue juga sebaliknya” Teriakku sampai seisi cafe melirik meja kami. 

Hatiku teriris saat teringat Doni keluar dari mobilnya dan merangkulkan lengannya di pinggang perempuan berambut panjang yang dibiarkan terurai. Doni terlihat lebih bahagia dibanding saat bersamaku menghabiskan malam dengan minum coklat panas. Kejadian itu sudah 7 bulan berlalu dan aku membiarkan semuanya berlangsung demi menjaga hubunganku bersama Doni. Ah aku semakin membenci perempuan itu. 

“lo yakin banget” Ledek Roni. 

“Karena satu hubungan harus dimulai dari rasa percaya” Aku berusaha menghibur hatiku yang rapuh. 

“iya semoga seperti harapan lo” Roni akhirnya mengalah. 

“iya semoga cewe pujaan lo juga datang ke sini dan meminum kopi pahit ini” Aku mengomel dan menggeser cangkir putih polos berisi kopi jauh-jauh dari lenganku. 

Roni tersenyum. Meraih cangkirnya dan menyeruput cepat. 

@@@@

Aku membantu membereskan rumah Doni. Memunguti kertas yang bertebaran di penjuru ruang dan menyiapkan makan siangnya. Doni benar-benar keteteran mengerjakan tesis dan bisnisnya. Lingkaran hitam di matanya terlihat jelas. Wajahnya kusut, kumis dan jenggotnya tumbuh lebih lebat. Dia menatapku saat memergoki mataku bergerilya di tubuhnya. 

Aku mendekati dan melingkarkan tanganku ke bahunya. Dia tetap asik memandangi laptopnya tanpa memperdulikan aku. Aku menarik tanganya dan mengoleskan cream ke janggut dan kumisnya. Aku mencukurnya dengan penuh hati-hati. Doni hanya pasrah dan mengamatiku dari balik kaca. Doni meraih tanganku, membuatku spontan berhenti. 

“Terima kasih, maaf kalau akhir-akhir ini aku nggak peduliin kamu” Matanya berkaca-kaca. Aku tersenyum dan melanjutkan mencukur sampai bersih lalu membilasnya. Aku tersenyum bangga saat Doni terlihat sangat ganteng dan lebih berseri. 

Aku mencium pipinya malu-malu dan bergegas menyiapkan makan siang. Aku berusaha menyiapkan yang terbaik untuknya. Aku tak ingin menjadi buruk di matanya. Cukup sekali aku dikhianati. Cukup sekali aku diam dan pura-pura buta. Aku menunggu moment yang tepat untuk menanyakan siapa perempuan berambut panjang itu.

Doni kembali sibuk dengan laptopnya, sesekali melirikku. 

@@@@

Aku kembali ke Aparteman dan membaringkan tubuhku. Pikiranku melayang ke cowok penunggu pojok. Entah perasaan simpati atau kenyaman yang kudapat sampai membuatku terus memikirkannya. Aku meraih ponselku. Mencari namanya. Jempolku hampir saja menekan tombol call. 

Kring...kring...kring....

Dilayar ponselku muncul namanya “Hantu Pojok” 

“Haloo” sapaku sumringah. Tak ada suara di sana. “Roy, lo di sana?” suaraku terdengar khawatir. 

Iya “ Suaranya sangat lemah. “lo dimana?, lo baik-baik ajakan” Aku tak sabar ingin mendatangi dan memastikan keadaannya. 

“....”

“Roy, lo nggak usah ngerjain gue gini ah” aku sewot.  “tut...tut...tut”

Roni mematikan ponselnya. Entah apa yang kupikirkan sampai aku keluar tengah malam dan satu-satunya tempat yang aku tuju Cafe itu (dibaca tempat biasa nongkrong). 

Aku berlari tanpa mempedulikan jam, dingin dan kesunyian di sekitar aparteman. Nafasku tersengal-sengal sambil mendorong pintu cafe yang terbuat dari kaca bening. Cowok pelontos berbaju oblong putih dan jas hitam motif garis duduk tanpa laptopnya di pojok cafe. 

“Lo, kenapa?” Aku memegang wajahnya yang lebab-lebab. 

Roni menunduk dan diam. Spontan aku memeluknya. Dia membalas pelukkanku dan meremas bahuku. 

“Cewek gue dah punya cowok baru dan gue nggak trima” Ucapnya singat. 

“Terus lo berantem?” 

Roni mengangguk. 

“Dasar pecundang, lo kenapa bego banget si jadi cowok” Makiku. 

Roni diam dengan tanganya yang mengepal, terlihat ada kebencian tertanam di hati dan binar matanya. 

“Thankz ya lo dah ke sini” Roni berusaha tersenyum saat menatapku. 

Dug..Dug...Dug... Jantungku terus berdetak tak terkendali saat Roni menantapku. Oh Tuhan kenapa ini terjadi padaku. Pertahanan cinta yang kujaga untuk Doni cukup lama perlahan runtuh. Cinta membuatku terluka dan kehilangan, tapi jika aku memilih menyimpan cintaku di relung yang paling dalam  aku harus membuang luka yang terpendam di dalam hatiku. Entah bagaimana, bersamanya aku kehilangan bahagia dan bersamamu aku menemukan bahagia yang hilang. 

“Del? Lo gak papa?” Roni menggenggam tanganku yang membeku. Aku hanya menggeleng dan berusaha menarik bibirku. Roni bangkit dari duduknya dan menarik tanganku. 

“Gue anter pulang yuk, badan lo dingin banget” Roni semakin keras menggenggam jemariku hampir membuatnya remuk. 

“Auuuhhh sakit tau” aku menimpuk pundaknya yang bidang. 

Punggung Roni yang hangat mengalahkan hembusan angin yang menerpaku malam itu. Dia memelukku dan membiarkan tubuh kecilku bersembunyi di balik jaket kulit coklat miliknya. 

Kedekatan yang seharusnya tak terjadi di antara kami malah semakin membuat kami ingin selalu bertemu. Sepulang bekerja Roni selalu menungguku di pojok cafe dan aku selalu tak ingin melewatkan hari tanpa bertemu dengannya. 

Aku seperti menemukan duniaku yang hilang saat ada di sisinya. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang