“Aku titip gaun pengantin ini ya,
nanti mau diambil nona Syla” Ucapku
sambil merapikan Gaun pengantin warna putih dengan kombinasi renda dan bunga pink menyebar
di seluruh sisi gaun. Bibirku tak henti tersenyum memandangi gaun pengantin
dominasi pink warna kesukaanku. Gerak tanganku semakin lincah saat memeriksa
centi demi centi jahitan yang menyatukan bunga kecil berwarna pink dengan gaun
berenda pink perak. Jam kerja belum seutuhnya habis tapi aku harus segera
keluar dari butik baju pengantin tempatku bekerja. Miss Rena selalu mengijinkan
karyawannya keluar sesukanya, mungkin dia udah cukup kaya sehingga tak memperdulikan
karyawannya yang bandel sepertiku. Beruntungnya bekerjasama dengan Miss Rena.
“Semoga berjalan lancar ya, Beb” Teriak Miss Rena sambil
memandangiku berjalan menjauhi butik. Sinta mengajungkan kedua jempolnya dan
mengerling genit. Rupanya teman-temanku sangat memperhatikan aku dan
mengucapkan selamat karena hari ini Anniversary-ku yang ke -7 dengan Dony.
Berpacaran yang sangat lama. Aku sangat semangat untuk bertemu Dony semoga
Anniversary kali ini dia melamarku. Aku menarik nafas panjang dan memanjatkan
doa. Senyumku melebar dan langkah kakiku terasa ringan.
Kakiku
perih menahan heels yang seharian aku kenakan. Aku mondar-mandir dan tak henti
memandangi jam yang melinggar di tangan kiriku. 19.30 seharusnya bertemu jam
19.00. “Mungkin Dony kena macet” batinku
menghibur. Aku duduk kembali dan menyeruput mocacinno yang kupesan.
Kerongkonganku terasa hangat. Mataku melirik sudut cafe dimana ada seorang
cowok duduk dengan laptopnya dan dua cangkir coffe. Mejanya cukup berantakan
untuk kulihat. Mungkin dia sudah lebih lama menunggu dibanding aku. Aku mulai
bersabar.
“Maaf sayang, aku telat” Dony mencium pipiku dan
mataku masih tertuju ke cowok berambut pelontos
dengan kemeja ungu muda. Aku memukul pundaknya manja. “Kenapa si kamu nggak pernah ingat hari spesial
kita?” Bibirku semakin manyun.
Dony
membelai rambutku kemudian tangannya menyetuh hidungku. “Aku ingat, sayang”. Akhirnya aku memaksakan untuk tersenyum.
Pramuniaga mendatangi meja kami untuk mengantar coklat hangat dan cup cake lucu
yang sudah kupesan.
“Happy Anniversary” Dony menarik tanganku lembut.
Aku membalasnya dan tersenyum manja. Setiap hari aku sibuk dengan pekerjaanku
di butik baju pengantin dan baby shop online-ku sementara Dony sibuk dengan
bisnisnya di bidang property dan kuliah S2-nya. Sikap Dony sangat manis tetapi
membosankan. Dia sama sekali tak tertarik membahas tentang pernikahan sementara
aku sangat menginginkan pernikahan. Aku sangat antusias membicarakan gaun
pernikahan, pesta, siapa yang diundang
dan pakaian bayi.
“Gimana kerjanya hari ini” Dony membuyarkan lamunanku.
Aku menatap matanya lekat.
“Mengasikkan, di tempat kerjaku ini
aku bisa ngejalanin online shop-ku lho Miss Rena baik banget. Aku nggak mau
ngecewain beliau.” Aku
berusaha ceria meski ini bukan topik pembicaraan yang aku harapkan.
“Syukurlah” Doni mengelah nafas dan tersenyum
manis.
“Apa kita nggak membicarakan sesuatu
yang penting” Aku
memancing topik yang aku nantikan. Dony mencomot cup cake dan menggigitnya. “Rasanya belum berubah ya” Dia terus
mengalihkan pembicaraan. Aku sangat kecewa. Aku menahan diri untuk tidak teriak
dengan meremas tanganku sendiri.
“apa
kamu udah gak cinta aku lagi?” Batinku. Sungguh
konyol kalau aku menanyakan hal ini. Aku udah cukup lama bersamanya dan
7 tahun bertahan bukan karena cinta lalu karena apa???
Rasanya
aku pengin melempar cup cake ke wajahnya. Gemas.
Hari
ini rasanya aku nggak bisa menghirup udara segar. Sesak dadaku. Mataku tertuju
pada toko bunga yang menjual bunga-bunga segar lengkap dengan tangkainya. Cantik.
“Kamu nggak
ada romantisnya si nggak pernah ngasih aku bunga” ucapku polos ketika itu.
“Ah besok aku belikan sama potnya
sekalian”
Dony sewot.
Aku
memukul jidatku. Kenapa aku memikirin hal konyol lagi. Diusia 25 tahun dan cukup lama berpacaran masih mengharapkan
hal romantis macam itu. Aku menarik nafas panjang dan melanjutkan jalan ke arah
butik aku bekerja. Setiap hari aku jalan kaki menelusuri kios dipinggiran
apartemanku tinggal. Hampir seluruh pemilik kios mengenaliku.
“Selamat Pagi” sapaku lemas.
“Lemes banget kamu, Del” Sinta merangkul pundakku.
Aku mengembuskan nafas panjang. Sinta cukup paham dengan reaksiku, dia lama
berteman denganku dan mengetahui kisah percintaanku yang dramatis.
“Udah
sabar aja, mungkin Dony lagi sibuk sama kerjaan dan S2nya. Semangat” Hibur
Sinta dengan gaya centilnya.
Aku
mulai bekerja tanpa menghiraukan pikiranku yang semakin berkecambuk.
@@@@
Aku
memesan tempat duduk yang kemarin ku pesan bersama Dony. Kali ini aku datang
sendiri. Rasanya malas untuk pulang ke aparteman.
Pemandangan
di Cafe ini lumayan bagus jadi aku betah berlama-lama di tempat ini. Ribuan
lampu yang ada diperkotaan terlihat seperti ribuaan bintang yang nggak mungkin
terlihat di Jakarta. Keindahannya bisa
menghapus air mataku.
Mataku
berkeliling dan terhenti di sudut Cafe. Cowok pelontos berkemeja putih masih
asik dengan laptopnya. Lagi-lagi dengan
2 cangkir .
“Semoga dia bukan hantu pojok” Bisikku terkekeh.
Aku
memberanikan diri mendekati cowok bertampang suram itu.
“Hei lagi nunggu seseorang?” Ucapku ceria
Cowok
itu tanpa reaksi. Aku melampaikan tanganku ke wajahnya.
“Haiiissss, ada apa?” Dia melepaskan heatset dari
kupingnya. “Oh”
“Lagi nunggu seseorang?” Aku mengulangi pertanyaanku.
“Enggak” Jawabnya singat. Cowok ini membuatku
semakin penasaran. Gayanya cool dan terlihat sangat jual mahal.
“oh” aku melangkah pergi.
“Tunggu” dia menarik lenganku. Jantungku
berhenti berdetak.
“Bisa kan kita duduk sama-sama di
sini, pasti lo sendirian” Dia
menatap mataku lengkat. Sangat membuatku salah tingkah. Aku mengedipkan mata
seolah tak tergoda.
“ eh, iya. Ehm gue ambil minuman di
meja gue dulu ya”
Semenit
kemudian aku sudah duduk di depan cowok berambut pelontos, berhidung macung, matanya
coklat dan kalau senyum ada semacam lekukan di pipi kirinya. Manis.
“Setiap lo dateng ke sini biasanya
sama cowok lo” Ucapnya setelah mengobrol panjang
lebar.
“Setiap...emang lo sering liat gue ke
sini”
Tanyaku penasaran.
“iya setiap selasa, jumat dan sabtu
malam lo selalu duduk di kursi itu dan memesan mocacinno coklat panas dan 6 cup
cake. Lo juga suka ngomel kalau cowok lo dateng telat Lo juga suka protes kalau
cup cake yang lo pesen habis Lo juga mengembalikan mocacinnonya yang kurang
manis”
Ucapnya tanda titik dan koma. Aku diam
dan membiarkan mulutku sedikit terbuka karena kaget.
“Hei cewe cerewet, nggak usah
ngeliatin gue kayak gitu kali”
Dia menunjuk dahiku dengan jari telunjuknya sampai membuatku hampir jatoh.
“Lo? Lo bener-bener cowok nyebelin
yang pernah gue temui” Aku
meraih tas dan melangkah pergi. Wajahku bener-benar terlihat dengan mood yang
sangat buruk.
“Della, nama gue Roni “ Sambil tersenyum puas saat
aku meliriknya. Haissss dia mengenali namaku. Aku pergi tanpa menghiraukannya.
@@@@
Aku
masih sangat penasaran dengan cowok pelontos penunggu pojok cafe. Aku terus
memikirkannya. Sifatnya sangat susah ditebak. Cuek, Jutek, Asik, Rame, dan terkadang usil.
Kring....kring...kringgg
“Halo, sayang”
“Maaf sayang, hari ini aku ada rapat.
Kita nggak usah ketemu dulu ya”
Aku
melirik kalender. “Nggak biasanya sabtu
malam begini rapat” Ucapku kecewa.
“Iya ne, hari senin aku janji maen ke tempat
kamu ya” Dony berusaha memenangkan hariku
“Iya” Ucapku pelan tanpa gairah.
Entah
kenapa kali ini hatiku berdetak nggak seperti biasanya. Nggak mungkin Dony
melakukan itu. Aku menepis pikiran negatifku. Aku berusaha memejamkan mataku.
Berat.
@@@@
Aku
mulai akrab dengan Roni penunggu pojok Cafe. Aku sering menghabiskan waktu
sepulang kerja di cafe itu. Rupanya Roni bukan cowok buruk seperti anggapanku.
Dia hanya sedikit angkuh.
“Tiap hari lo nungguin cewek lo di sini?” ucapku tiba-tiba.
“Iya gue yakin dia bakalan datang ke
sini lagi”
Ucapnya tanpa melihat.
“Dasar bodoh”umpatku.
“Lo pikir, lo bisa bertahan dengan
hubungan tanpa cinta” Dia
menatapku seperti mengancam.
“Tutup mulut lo, Doni cinta banget
sama gue, gue juga sebaliknya” Teriakku sampai seisi cafe melirik meja kami.
Hatiku
teriris saat teringat Doni keluar dari mobilnya dan merangkulkan lengannya di
pinggang perempuan berambut panjang yang dibiarkan terurai. Doni terlihat lebih
bahagia dibanding saat bersamaku menghabiskan malam dengan minum coklat panas.
Kejadian itu sudah 7 bulan berlalu dan aku membiarkan semuanya berlangsung demi
menjaga hubunganku bersama Doni. Ah aku semakin membenci perempuan itu.
“lo yakin banget” Ledek Roni.
“Karena satu hubungan harus dimulai
dari rasa percaya” Aku
berusaha menghibur hatiku yang rapuh.
“iya semoga seperti harapan lo” Roni akhirnya mengalah.
“iya semoga cewe pujaan lo juga
datang ke sini dan meminum kopi pahit ini” Aku mengomel dan menggeser cangkir
putih polos berisi kopi jauh-jauh dari lenganku.
Roni
tersenyum. Meraih cangkirnya dan menyeruput cepat.
@@@@
Aku
membantu membereskan rumah Doni. Memunguti kertas yang bertebaran di penjuru
ruang dan menyiapkan makan siangnya. Doni benar-benar keteteran mengerjakan
tesis dan bisnisnya. Lingkaran hitam di matanya terlihat jelas. Wajahnya kusut,
kumis dan jenggotnya tumbuh lebih lebat. Dia menatapku saat memergoki mataku
bergerilya di tubuhnya.
Aku
mendekati dan melingkarkan tanganku ke bahunya. Dia tetap asik memandangi
laptopnya tanpa memperdulikan aku. Aku menarik tanganya dan mengoleskan cream
ke janggut dan kumisnya. Aku mencukurnya dengan penuh hati-hati. Doni hanya
pasrah dan mengamatiku dari balik kaca. Doni meraih tanganku, membuatku spontan
berhenti.
“Terima kasih, maaf kalau akhir-akhir
ini aku nggak peduliin kamu”
Matanya berkaca-kaca. Aku tersenyum dan melanjutkan mencukur sampai bersih lalu
membilasnya. Aku tersenyum bangga saat Doni terlihat sangat ganteng dan lebih
berseri.
Aku
mencium pipinya malu-malu dan bergegas menyiapkan makan siang. Aku berusaha
menyiapkan yang terbaik untuknya. Aku tak ingin menjadi buruk di matanya. Cukup
sekali aku dikhianati. Cukup sekali aku diam dan pura-pura buta. Aku menunggu
moment yang tepat untuk menanyakan siapa perempuan berambut panjang itu.
Doni
kembali sibuk dengan laptopnya, sesekali melirikku.
@@@@
Aku
kembali ke Aparteman dan membaringkan tubuhku. Pikiranku melayang ke cowok
penunggu pojok. Entah perasaan simpati atau kenyaman yang kudapat sampai
membuatku terus memikirkannya. Aku meraih ponselku. Mencari namanya. Jempolku
hampir saja menekan tombol call.
Kring...kring...kring....
Dilayar
ponselku muncul namanya “Hantu Pojok”
“Haloo” sapaku sumringah. Tak ada suara di
sana. “Roy, lo di sana?” suaraku
terdengar khawatir.
“Iya “ Suaranya sangat lemah. “lo dimana?, lo baik-baik ajakan” Aku
tak sabar ingin mendatangi dan memastikan keadaannya.
“....”
“Roy, lo nggak usah ngerjain gue gini
ah” aku
sewot. “tut...tut...tut”
Roni
mematikan ponselnya. Entah apa yang kupikirkan sampai aku keluar tengah malam
dan satu-satunya tempat yang aku tuju Cafe itu (dibaca tempat biasa nongkrong).
Aku
berlari tanpa mempedulikan jam, dingin dan kesunyian di sekitar aparteman.
Nafasku tersengal-sengal sambil mendorong pintu cafe yang terbuat dari kaca
bening. Cowok pelontos berbaju oblong putih dan jas hitam motif garis duduk
tanpa laptopnya di pojok cafe.
“Lo, kenapa?” Aku memegang wajahnya yang
lebab-lebab.
Roni
menunduk dan diam. Spontan aku memeluknya. Dia membalas pelukkanku dan meremas
bahuku.
“Cewek gue dah punya cowok baru dan
gue nggak trima”
Ucapnya singat.
“Terus lo berantem?”
Roni
mengangguk.
“Dasar pecundang, lo kenapa bego
banget si jadi cowok” Makiku.
Roni
diam dengan tanganya yang mengepal, terlihat ada kebencian tertanam di hati dan
binar matanya.
“Thankz ya lo dah ke sini” Roni berusaha tersenyum saat
menatapku.
Dug..Dug...Dug...
Jantungku terus berdetak tak terkendali saat Roni menantapku. Oh Tuhan kenapa
ini terjadi padaku. Pertahanan cinta yang kujaga untuk Doni cukup lama perlahan
runtuh. Cinta membuatku terluka dan kehilangan, tapi jika aku memilih menyimpan
cintaku di relung yang paling dalam aku
harus membuang luka yang terpendam di dalam hatiku. Entah bagaimana, bersamanya
aku kehilangan bahagia dan bersamamu aku menemukan bahagia yang hilang.
“Del? Lo gak papa?” Roni menggenggam tanganku
yang membeku. Aku hanya menggeleng dan berusaha menarik bibirku. Roni bangkit
dari duduknya dan menarik tanganku.
“Gue anter pulang yuk, badan lo
dingin banget”
Roni semakin keras menggenggam jemariku hampir membuatnya remuk.
“Auuuhhh sakit tau” aku menimpuk pundaknya yang
bidang.
Punggung
Roni yang hangat mengalahkan hembusan angin yang menerpaku malam itu. Dia
memelukku dan membiarkan tubuh kecilku bersembunyi di balik jaket kulit coklat
miliknya.
Kedekatan
yang seharusnya tak terjadi di antara kami malah semakin membuat kami ingin
selalu bertemu. Sepulang bekerja Roni selalu menungguku di pojok cafe dan aku
selalu tak ingin melewatkan hari tanpa bertemu dengannya.
Aku
seperti menemukan duniaku yang hilang saat ada di sisinya.
0 komentar:
Posting Komentar