Lanjutan dari kisah sebelumnya, yang belum tau klik di sini
Gerimis
pagi ini membuatku malas beranjak dari kasur. Aku mengambil libur bulananku
tepat hari minggu. Hari yang cukup melelahkan seharusnya, bekerja di saat semua
orang menikmati liburannya. Aku menguap dan menarik selimutku kembali.
Mengeliat dan membiarkan tubuhku bermalas-malasan di kasur yang lama aku
acuhkan.
Kring...kring...kring...
Aku
mencari ponsel yang entah kutaroh dimana. “aduh
siapa si ganggu aja” omelku.
Aku
meraih ponsel tepat di bawah bantal. Tanpa melihat penelponnya, “iya, ada apa?”
“aku, di parkiran ne turun dong” Ucap suara yang tak asing
lagi untukku terakhir ini.
Aku
langsung loncat dan membenahi kasurku. Aku tinggal di aparteman yang safety
cukup baik. Hanya orang yang mememiliki member card yang bisa naik ke lantai
aparteman menggunakan lift, dan aku salah satu penghuni lantai 12 di aparteman
minimalis di pusat kota padat penduduk ini.
Masih
menggunakan baju tidur motif bunga berwarna pink dan rambut yang disisir hanya menggunakan
jari, aku menelusuri koridor dan turun menemui Roni. Kurasa Doni tak akan
datang karena semalam dia berpamitan liburan akhir pekan bersama rekan
kantornya.
“Selamat Pagi Beo Jelek” Roni menyodorkan buket bunga
mawar merah dengan tampang konyolnya. Mataku melotot dan nggak bisa
berkata-kata.
“Nggak suka ya?” Aku mendapati wajahnya yang
kecewa.
“aku suka banget, baby” Aku meraih buket mawar dan
berlari menuju Lift dan Roni mengejarku.
@@@@
Pelanggan
di butik hari ini nggak seramai biasanya. Aku mulai menggoreskan pensilku ke
kertas putih sambil memadupandakan warna. Dalam memadukan warna terkadang
sangat membuatku kesulitan. Aku menghela nafas dan mulai menggoreskan pencilku
lagi dan nanti aku serahkan kepada ahlinya memadu warna siapa lagi kalau bukan
si Sinta.
Sinta
mendekatiku. Matanya sembab dan kerutan di wajahnya sedikit terlihat. Dia
merangkulku dan terisak. Aku kebingungan.
Aku
menunggunya bicara dan membiarkan Sinta menangis di bahuku.
“Del, suami gue selingkuh”
Aku
diam. Seperti ada sengatan listrik yang menyambarku.
“Lo, yakin?”
Sinta
mengangguk dan air matanya kembali merembes semakin banyak.
“Kemarin malam ada perempuan dateng
ke rumah gue, untung laki gue lagi nggak ada. Asal lo tau aja, Perempuan itu
udah hamil dan ngakunya itu anak laki gue Del. Sumpah ya gue kayak mimpi buruk”
Tiba-tiba
aja aku nggak bisa komentar apapun untuk Sinta. Aku memeluknya erat.
“Sabar say, lo jangan gegabah
selidikin dulu aja”.
Ya
Tuhan, aku sangat benci perselingkuhan. Selama ini aku diam dan mengubur
dalam-dalam ingatanku tentang perselingkuhan Doni dengan rekan kantornya. Entah
sudah berakhir atau masih berlanjut aku tak pernah mengambil pusing. Dan kali
ini aku mencoba melakukan perselingkuhan dengan cowo asing yang aku temui di
cafe favoritku. Ini benar-benar hal gila.
Aku menutupi lukaku dan membuat luka
untuknya.
Aku terlalu mudah menebak cinta. Cinta itu saling mengenal, jatuh cinta, perih
dan kembali asing. Bagiku cinta sangat mudah ditebak.
@@@@
Doni
menggenggam tanganku erat. Aku melepaskannya. Malam ini benar-benar malam yang
sangat asing. Jantungku berdetak biasa aja. Bahkan aku tak ingin berlama-lama
bersama Doni. Mungkin aku terlalu takut untuk ditebak atau memang aku tak
mencintainya lagi. Hatiku mulai gundah.
Matanya
menatapku dan aku selalu menghindari kontak matanya. Aku benar-benar butuh
waktu untuk berlari dan sendiri.
“Sayang, kamu sakit” Doni mengkhawatirkan
tingkahku yang mungkin terlihat aneh.
“Iya, aku pusing”
Doni
mengantarku pulang. Menemaniku sampai aku berbaring di ranjangku. Menyelimuti
tubuhku dengan penuh kasih sayang. Dia membaringkan tubuhnya di sofa dan mulai
memejamkan mata.
“Kamu mau tidur di sini?” Tanyaku mencurigai.
“Iya, aku takut kamu kenapa-kenapa
sayang”
Ucapnya sambil membenahi posisi tidurnya. Dia kembali memejamkan matanya.
Aku
memandanginya penuh dengan rasa bersalah. Iya, aku udah mengkhianati
laki-lakiku. Aku membiarkan laki-laki asing masuk tanpa memperkuat
pertahananku. Aku membiarkan dua laki-laki hidup di hatiku dalam waktu
bersamaan dan itu sangat menyalahi karena aku sangat membenci perselingkuhan.
Aku harus bagaimana???
“Ah bukankah ini impas aku
berselingkuh dan kamu juga pernah berselingkuh” Batinku memenangkan diri sendiri.
Aku berusaha memejamkan mata dan melupakan semuanya. Semoga hanya mimpi saja.
@@@@
Matahari
pagi menyapu wajahku. Laki-lakiku menyodorkan coklat hangat dan roti tawar
selai nanas ke arahku. Sontak membuatku kaget serasa sudah menikah saja. Aku
tersenyum malu-malu.
“Kalau kamu masih pusing, mending
ijin nggak masuk kerja aja” Usulnya
sambil menyuapiku roti. Aku jadi manja dihadapannya. Aku memang pusing tapi
bukan karena sakit melainkan karena aku bimbang dengan hatiku. Apa aku jatuh
cinta dengan laki-laki asing atau aku tetap bertahan dengan hubungan yang sudah
7 tahun berlangsung.
Yang
benar aja kalau aku tetap melakukan perselingkuhan berarti aku membiarkan 7
tahun berantakan tanpa asa. Kurasa aku harus mengakhiri semuanya, dan memaafkan
perselingkuhannya. Aku mulai sadar.
Aku
bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap menemui Roni. Sepertinya aku melupakan
tugas pokokku sebagai karyawan.
Kemeja biru muda, rok selutut warna
coklat dan membiarkan rambutku yang ikal
terurai semakin yakin untuk mengakhiri perselingkuhan konyolku. Aku membiarkan
Doni sendiri di aparteman.
“Selamat
bekerja sayang, i love you”
Doni mencium keningku.
Aku tersenyum dan membiarkan dia
mengamatiku pergi menjauh.
@@@@
Untuk
keempat kalinya aku mendatangi rumah Roni yang terletak sangat dekat dengan
apartemanku. Rumahnya cukup besar dengan 3 kamar tidur dan 1 garasi mobil yang
cukup luas. Rumah itu penuh dengan tanaman, sangat terlihat Roni sangat
mencintai lingkungan. Di rumah yang sangat nyaman ini kenapa dia lebih suka
menghabiskan waktu di depan laptop di ponjok cafe ya. Pikiranku mulai melayang
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab olehku sendiri.
Roni
sangat matang dan 3 tahun lebih tua dari Doni. Baiklah, Roni hanya orang asing
yang kebetulan menjadi teman laki-lakiku di saat aku terlupakan oleh Doni.
Roni
memelukku saat aku berdiri di depan pintu rumahnya. Hanya menggunakan boxer dan
kaos polos putih, Roni terlihat sangat gagah. Aku melepaskan pelukkannya. Dia
menatapku lekat.
“Roy, kita nggak usah ketemu lagi ya” ucapku kemudian setelah
beberapa menit terdiam.
Rony
meraih tanganku. “Kenapa? Aku terlanjur
mencintaimu, kamu nggak bisa seenaknya membuat keputusan dong”. Rony
memandangku penuh kemarahan.
“Dari awal kita tau kalau apa yang
kita lakuin salah, dan aku harus mengakhiri semuanya. Aku nggak mungkin
ninggalin Doni”.
Aku berusaha memendung air mataku. Tuhan, please jangan buat aku nangis di
sini.
“Tapi bel...” Aku menutup mulutnya dengan
jari.
“Kita, aku dan kamu kembali jadi
orang asing lagi seperti semula. Jangan hubungi aku lagi” aku berlari meninggalkan Rony
yang terlihat sangat syok karena keputusanku yang mendadak .
Air mataku tumpah saat keluar dari pagar
rumahnya. Sakit ini seperti tersayat-sayat. Aku benar-benar patah hati. Kenapa
rasa sakit ini begitu terasa pedih padahal aku dan Roni hanya bersama-sama tak
sampai 4 bulan. Kenapa hanya dengan waktu singkat jatuh cinta , sakitnya sampai
membuatku susah bernafas. Aku memegangi dadaku dan air mataku tumpah ruah. Aku
hampir tersungkur.
@@@@
Doni
menemaniku sepanjang hari. Dia prihatin dengan kondisiku yang semakin lemah.
Dia sangat mengkhawatirkan aku yang tiba-tiba lemah tanpa sebab yang nggak dia
tahu. Nafsu makanku menjadi berkurang, sampai bisnis online shopku mendadak
mati. Banyak pesanan yang tak kuantar.
“Sayang, sebenarnya kamu kenapa si?” Doni jengkel dengan ulahku
yang semakin terlihat kekanak-kanakan. Aku memeluknya erat. Menangis di bahunya
keras-keras. Lega. Aku diam dan berusaha tenang.
“Aku sayang banget sama kamu, jangan
tinggalin aku ya”
Ucapku polos . Doni memelai rambutku dan mengangguk.
@@@@
Setelah
beberapa hari aku benar-benar seperti mau mati, akhirnya aku meluangkan waktu
olahraga pagi bersama Doni di taman kota. Mood-ku kembali normal. Sepertinya
matahari udah menyapa pagiku lagi. Aku menarik nafas panjang dan menggenggam
erat tangan Doni yang semakin setia menemani hariku. Doni udah banyak berubah
setelah menyelesaikan tesisnya. Kurasa memang benar dia mengacuhkanku karena
dia mengurusi tesisnya. Ya ampun kenapa aku bener-bener egois ya.
Dari
arah berlawanan aku melihat cowok pelontos dengan kantong kresek di tangannya
dan hanya berbalut celana panjang dan kaos polos hitam berjalan ke arahku.
Langkahnya gontai, kepalanya menunduk memandangi langkah kakinya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan memandang
lurus ke arahku. Matanya terlihat berkaca-kaca seperti ada sesuatu yang pengin
di sampaikan. Dia Roni, laki-laki yang berhasil membuatku patah hati. Jantungku
semakin berdetak kencang. Langkah kakiku terhenti saat Roni mulai dekat
denganku dan Doni berjalan. Kakiku lemas.
Sontak
aku membalikkan badan dan berjalan cepat menghindari Roni dan membiarkan Doni
kebingungan dengan sikapku. “Del...Del
kamu mau kemana?” Doni meneriaki. Aku tanpa memperdulikannya berjalan cepat
menghindari Roni. Air mataku kembali merembes. Aku sama sekali nggak punya
nyali untuk menatap Roni. Meski berjuta pertanyaan mengepul di ubun-ubun. Apakah roni baik-baik aja? Apa dia juga
merasakan sakit seperti yang aku rasa? Apa gadisnya kembali dengannya? Apakah
dia merindukanku? Apakah dia masih mencintaiku?
Kepalaku
mendadak pusing dan seisi taman kota seolah berputar.
@@@@
Aku
membuka mataku yang terasa lengket. Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin kadar
hemoglobinku kali ini menurun. Aku sering terserang pusing mendadak. Samar-samar aku melihat
ruangan yang nggak asing untukku. Tempat tidur dengan ranjang empuk berbalut
sprai merah kombinasi kuning. Sebulan lalu aku yang membantu merapikan
ranjangnya. Sepertinya Doni belum sempat menggantinya lagi.
“Sayang, kamu dimana?” Aku berusaha bangun dan
berjalan keluar kamarnya. Diam. Rumah ini benar-benar hening. Aku mendekati
kulkas dan mengambil segelas air kemudian aku meneguknya.
Doni
masih belum menunjukkan batang hidungnya. Mungkin Doni menonjok Roni saat aku
melarikan diri, ataukah Doni marah dan nggak mau ketemu aku lagi karena
mengetahui perselingkuhanku. Haissss entahlah. Pikiranku semakin membabi buta.
Terus
kenapa Doni membawaku ke sini. Kalau memang dia muak denganku harusnya dia
membiarkan aku pingsan di tengah taman. Bodoh sekali mana mungkin Doni tega
membiarkan aku tergeletak sendirian. Kenapa Doni nggak bawa aku ke aparteman
dan lalu meninggalkan aku sendiri seperti ini?. Ah kurasa Doni nggak mau
kerepotan membopong tubuhku yang memal ke lantai 12.
“Siapa laki-laki tadi” Suaranya yang keras
membuyarkan lamunanku yang mengerikan itu. Aku menengok ke belakang. Masih
dengan kaos polos putih dan celana boxer putih berdiri di pintu dengan
tangannya memegang orange jus. Matanya menatapku tajam. Wajahnya cukup serius
tanpa ada keramahan di sana.
“Dia temanku” Aku menjawab sekenanya.
“Kamu suka temanmu itu” Doni mencurigaiku. Aku paham
ini bukan hal aneh lagi yang harus aku takutkan. Aku menerima konsekuensi atas
perbuatanku. Aku harus mengakui dan semuanya selesai. Selesai hubunganku
bersama Doni atau selesai sudah masalahku dengan laki-laki lain. Aku masih
belum bisa menebaknya. Aku kembali bungkam .
Bersambung.........
0 komentar:
Posting Komentar