Sabtu, 01 Februari 2014

Kalau Bukan Cinta, Lalu Apa? #2




Lanjutan dari kisah sebelumnya, yang belum tau klik di sini 


Gerimis pagi ini membuatku malas beranjak dari kasur. Aku mengambil libur bulananku tepat hari minggu. Hari yang cukup melelahkan seharusnya, bekerja di saat semua orang menikmati liburannya. Aku menguap dan menarik selimutku kembali. Mengeliat dan membiarkan tubuhku bermalas-malasan di kasur yang lama aku acuhkan. 



Kring...kring...kring...



Aku mencari ponsel yang entah kutaroh dimana. “aduh siapa si ganggu aja” omelku. 



Aku meraih ponsel tepat di bawah bantal. Tanpa melihat penelponnya, “iya, ada apa?”



“aku, di parkiran ne turun dong” Ucap suara yang tak asing lagi untukku terakhir ini. 



Aku langsung loncat dan membenahi kasurku. Aku tinggal di aparteman yang safety cukup baik. Hanya orang yang mememiliki member card yang bisa naik ke lantai aparteman menggunakan lift, dan aku salah satu penghuni lantai 12 di aparteman minimalis di pusat kota padat penduduk ini. 



Masih menggunakan baju tidur motif bunga berwarna pink dan rambut yang disisir hanya menggunakan jari, aku menelusuri koridor dan turun menemui Roni. Kurasa Doni tak akan datang karena semalam dia berpamitan liburan akhir pekan bersama rekan kantornya. 



“Selamat Pagi Beo Jelek” Roni menyodorkan buket bunga mawar merah dengan tampang konyolnya. Mataku melotot dan nggak bisa berkata-kata. 



“Nggak suka ya?” Aku mendapati wajahnya yang kecewa. 



“aku suka banget, baby” Aku meraih buket mawar dan berlari menuju Lift dan Roni mengejarku. 



@@@@



Pelanggan di butik hari ini nggak seramai biasanya. Aku mulai menggoreskan pensilku ke kertas putih sambil memadupandakan warna. Dalam memadukan warna terkadang sangat membuatku kesulitan. Aku menghela nafas dan mulai menggoreskan pencilku lagi dan nanti aku serahkan kepada ahlinya memadu warna siapa lagi kalau bukan si Sinta. 



Sinta mendekatiku. Matanya sembab dan kerutan di wajahnya sedikit terlihat. Dia merangkulku dan terisak. Aku kebingungan. 



Aku menunggunya bicara dan membiarkan Sinta menangis di bahuku. 



Del, suami gue selingkuh” 



Aku diam. Seperti ada sengatan listrik yang menyambarku. 



“Lo, yakin?” 



Sinta mengangguk dan air matanya kembali merembes semakin banyak. 



“Kemarin malam ada perempuan dateng ke rumah gue, untung laki gue lagi nggak ada. Asal lo tau aja, Perempuan itu udah hamil dan ngakunya itu anak laki gue Del. Sumpah ya gue kayak mimpi buruk”  



Tiba-tiba aja aku nggak bisa komentar apapun untuk Sinta. Aku memeluknya erat. 



“Sabar say, lo jangan gegabah selidikin dulu aja”. 



Ya Tuhan, aku sangat benci perselingkuhan. Selama ini aku diam dan mengubur dalam-dalam ingatanku tentang perselingkuhan Doni dengan rekan kantornya. Entah sudah berakhir atau masih berlanjut aku tak pernah mengambil pusing. Dan kali ini aku mencoba melakukan perselingkuhan dengan cowo asing yang aku temui di cafe favoritku. Ini benar-benar hal gila. 



Aku menutupi lukaku dan membuat luka untuknya. Aku terlalu mudah menebak cinta. Cinta itu saling mengenal, jatuh cinta, perih dan kembali asing. Bagiku cinta sangat mudah ditebak. 



@@@@




Doni menggenggam tanganku erat. Aku melepaskannya. Malam ini benar-benar malam yang sangat asing. Jantungku berdetak biasa aja. Bahkan aku tak ingin berlama-lama bersama Doni. Mungkin aku terlalu takut untuk ditebak atau memang aku tak mencintainya lagi. Hatiku mulai gundah. 



Matanya menatapku dan aku selalu menghindari kontak matanya. Aku benar-benar butuh waktu untuk berlari dan sendiri. 



“Sayang, kamu sakit” Doni mengkhawatirkan tingkahku yang mungkin terlihat aneh. 



“Iya, aku pusing” 



Doni mengantarku pulang. Menemaniku sampai aku berbaring di ranjangku. Menyelimuti tubuhku dengan penuh kasih sayang. Dia membaringkan tubuhnya di sofa dan mulai memejamkan mata. 



“Kamu mau tidur di sini?” Tanyaku mencurigai.



“Iya, aku takut kamu kenapa-kenapa sayang” Ucapnya sambil membenahi posisi tidurnya. Dia kembali memejamkan matanya. 



Aku memandanginya penuh dengan rasa bersalah. Iya, aku udah mengkhianati laki-lakiku. Aku membiarkan laki-laki asing masuk tanpa memperkuat pertahananku. Aku membiarkan dua laki-laki hidup di hatiku dalam waktu bersamaan dan itu sangat menyalahi karena aku sangat membenci perselingkuhan. Aku harus bagaimana???



“Ah bukankah ini impas aku berselingkuh dan kamu juga pernah berselingkuh” Batinku memenangkan diri sendiri. Aku berusaha memejamkan mata dan melupakan semuanya. Semoga hanya mimpi saja. 




@@@@



Matahari pagi menyapu wajahku. Laki-lakiku menyodorkan coklat hangat dan roti tawar selai nanas ke arahku. Sontak membuatku kaget serasa sudah menikah saja. Aku tersenyum malu-malu. 



“Kalau kamu masih pusing, mending ijin nggak masuk kerja aja” Usulnya sambil menyuapiku roti. Aku jadi manja dihadapannya. Aku memang pusing tapi bukan karena sakit melainkan karena aku bimbang dengan hatiku. Apa aku jatuh cinta dengan laki-laki asing atau aku tetap bertahan dengan hubungan yang sudah 7 tahun berlangsung. 



Yang benar aja kalau aku tetap melakukan perselingkuhan berarti aku membiarkan 7 tahun berantakan tanpa asa. Kurasa aku harus mengakhiri semuanya, dan memaafkan perselingkuhannya. Aku mulai sadar. 



Aku bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap menemui Roni. Sepertinya aku melupakan tugas pokokku sebagai karyawan. 



Kemeja biru muda, rok selutut warna coklat  dan membiarkan rambutku yang ikal terurai semakin yakin untuk mengakhiri perselingkuhan konyolku. Aku membiarkan Doni sendiri di aparteman. 




“Selamat bekerja sayang, i love you” Doni mencium keningku. 



Aku tersenyum dan membiarkan dia mengamatiku pergi menjauh. 



@@@@



Untuk keempat kalinya aku mendatangi rumah Roni yang terletak sangat dekat dengan apartemanku. Rumahnya cukup besar dengan 3 kamar tidur dan 1 garasi mobil yang cukup luas. Rumah itu penuh dengan tanaman, sangat terlihat Roni sangat mencintai lingkungan. Di rumah yang sangat nyaman ini kenapa dia lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop di ponjok cafe ya. Pikiranku mulai melayang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab olehku sendiri. 



Roni sangat matang dan 3 tahun lebih tua dari Doni. Baiklah, Roni hanya orang asing yang kebetulan menjadi teman laki-lakiku di saat aku terlupakan oleh Doni. 



Roni memelukku saat aku berdiri di depan pintu rumahnya. Hanya menggunakan boxer dan kaos polos putih, Roni terlihat sangat gagah. Aku melepaskan pelukkannya. Dia menatapku lekat.
 


“Roy,  kita nggak usah ketemu lagi ya” ucapku kemudian setelah beberapa menit terdiam. 



Rony meraih tanganku. “Kenapa? Aku terlanjur mencintaimu, kamu nggak bisa seenaknya membuat keputusan dong”. Rony memandangku penuh kemarahan. 



“Dari awal kita tau kalau apa yang kita lakuin salah, dan aku harus mengakhiri semuanya. Aku nggak mungkin ninggalin Doni”. Aku berusaha memendung air mataku. Tuhan, please jangan buat aku nangis di sini. 



“Tapi bel...” Aku menutup mulutnya dengan jari. 



“Kita, aku dan kamu kembali jadi orang asing lagi seperti semula. Jangan hubungi aku lagi” aku berlari meninggalkan Rony yang terlihat sangat syok karena keputusanku yang  mendadak . 



 Air mataku tumpah saat keluar dari pagar rumahnya. Sakit ini seperti tersayat-sayat. Aku benar-benar patah hati. Kenapa rasa sakit ini begitu terasa pedih padahal aku dan Roni hanya bersama-sama tak sampai 4 bulan. Kenapa hanya dengan waktu singkat jatuh cinta , sakitnya sampai membuatku susah bernafas. Aku memegangi dadaku dan air mataku tumpah ruah. Aku hampir tersungkur. 



@@@@



Doni menemaniku sepanjang hari. Dia prihatin dengan kondisiku yang semakin lemah. Dia sangat mengkhawatirkan aku yang tiba-tiba lemah tanpa sebab yang nggak dia tahu. Nafsu makanku menjadi berkurang, sampai bisnis online shopku mendadak mati. Banyak pesanan yang tak kuantar. 



“Sayang, sebenarnya kamu kenapa si?” Doni jengkel dengan ulahku yang semakin terlihat kekanak-kanakan. Aku memeluknya erat. Menangis di bahunya keras-keras. Lega. Aku diam dan berusaha tenang. 



“Aku sayang banget sama kamu, jangan tinggalin aku ya” Ucapku polos . Doni memelai rambutku dan mengangguk. 



@@@@



Setelah beberapa hari aku benar-benar seperti mau mati, akhirnya aku meluangkan waktu olahraga pagi bersama Doni di taman kota. Mood-ku kembali normal. Sepertinya matahari udah menyapa pagiku lagi. Aku menarik nafas panjang dan menggenggam erat tangan Doni yang semakin setia menemani hariku. Doni udah banyak berubah setelah menyelesaikan tesisnya. Kurasa memang benar dia mengacuhkanku karena dia mengurusi tesisnya. Ya ampun kenapa aku bener-bener egois ya. 



Dari arah berlawanan aku melihat cowok pelontos dengan kantong kresek di tangannya dan hanya berbalut celana panjang dan kaos polos hitam berjalan ke arahku. Langkahnya gontai, kepalanya menunduk memandangi langkah kakinya.  Langkahnya tiba-tiba terhenti dan memandang lurus ke arahku. Matanya terlihat berkaca-kaca seperti ada sesuatu yang pengin di sampaikan. Dia Roni, laki-laki yang berhasil membuatku patah hati. Jantungku semakin berdetak kencang. Langkah kakiku terhenti saat Roni mulai dekat denganku dan Doni berjalan. Kakiku lemas. 




Sontak aku membalikkan badan dan berjalan cepat menghindari Roni dan membiarkan Doni kebingungan dengan sikapku. “Del...Del kamu mau kemana?” Doni meneriaki. Aku tanpa memperdulikannya berjalan cepat menghindari Roni. Air mataku kembali merembes. Aku sama sekali nggak punya nyali untuk menatap Roni. Meski berjuta pertanyaan mengepul di ubun-ubun. Apakah roni baik-baik aja? Apa dia juga merasakan sakit seperti yang aku rasa? Apa gadisnya kembali dengannya? Apakah dia merindukanku? Apakah dia masih mencintaiku? 



Kepalaku mendadak pusing dan seisi taman kota seolah berputar. 



@@@@



Aku membuka mataku yang terasa lengket. Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin kadar hemoglobinku kali ini menurun. Aku sering terserang  pusing mendadak. Samar-samar aku melihat ruangan yang nggak asing untukku. Tempat tidur dengan ranjang empuk berbalut sprai merah kombinasi kuning. Sebulan lalu aku yang membantu merapikan ranjangnya. Sepertinya Doni belum sempat menggantinya lagi. 



“Sayang, kamu dimana?” Aku berusaha bangun dan berjalan keluar kamarnya. Diam. Rumah ini benar-benar hening. Aku mendekati kulkas dan mengambil segelas air kemudian aku meneguknya. 



Doni masih belum menunjukkan batang hidungnya. Mungkin Doni menonjok Roni saat aku melarikan diri, ataukah Doni marah dan nggak mau ketemu aku lagi karena mengetahui perselingkuhanku. Haissss entahlah. Pikiranku semakin membabi buta. 



Terus kenapa Doni membawaku ke sini. Kalau memang dia muak denganku harusnya dia membiarkan aku pingsan di tengah taman. Bodoh sekali mana mungkin Doni tega membiarkan aku tergeletak sendirian. Kenapa Doni nggak bawa aku ke aparteman dan lalu meninggalkan aku sendiri seperti ini?. Ah kurasa Doni nggak mau kerepotan membopong tubuhku yang memal ke lantai 12. 



“Siapa laki-laki tadi” Suaranya yang keras membuyarkan lamunanku yang mengerikan itu. Aku menengok ke belakang. Masih dengan kaos polos putih dan celana boxer putih berdiri di pintu dengan tangannya memegang orange jus. Matanya menatapku tajam. Wajahnya cukup serius tanpa ada keramahan di sana. 



“Dia temanku” Aku menjawab sekenanya. 



“Kamu suka temanmu itu” Doni mencurigaiku. Aku paham ini bukan hal aneh lagi yang harus aku takutkan. Aku menerima konsekuensi atas perbuatanku. Aku harus mengakui dan semuanya selesai. Selesai hubunganku bersama Doni atau selesai sudah masalahku dengan laki-laki lain. Aku masih belum bisa menebaknya. Aku kembali bungkam . 






Bersambung.........


0 komentar:

Posting Komentar

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang