Sepertinya aku harus mengubur semua angan-anganku di masa
muda dulu. Semua keinginan itu tak akan terwujud lagi. Aku mulai membereskan
rak-rak buku yang memenuhi kantor kerjaku. Aku sudah bertahun-tahun bekerja
menjadi Sekretaris Direktur di perusahaan swasta di Jakarta. Orang bilang aku
tipe cewek yang selalu mengejar karier setinggi-tingginya tanpa mementingkan
cinta. Pernikahan. Mereka semua salah. Aku
ingin sekali menikah muda. Memiliki anak dan menjadi ibu rumah tangga.
“Del, elo tahun depan
udah kepala 3 lho. Masa lho nggak nikah si? Elo nggak takut apa?” Ucap Tika
teman sekantorku. Pertanyaan Tika dan beberapa orang disekitarku tak hanya
sekali dua kali mereka lontarkan. Sering. Bosan. Aku sangat bosan dengan
pertanyaan yang seakan-akan memojokkanku. Menganggapku
nggak laku. Mengolok-olok aku perawan tua.
Sering kali aku menangis. Bahkan aku menanyakan pada diriku
sendiri kapan aku akan menikah.
“tok...tok...tok..” Bunyi ketokan pintu tiba-tiba
membuyarkan lamunanku.
“masuk” jawabku sekenanya.
Tika masuk dengan senyum sumringah.
“Gue, pulang dulu ya Del, kangen baby Cylen di rumah”
Ucapnya seakan memamerkan sesuatu yang belum aku miliki.
“ Iya hati-hati ya” Ucapku berusaha menarik kedua ujung
bibirku.
Aku dan Tika memang sangat dekat. Dia sahabatku yang selalu
ada disaat aku terjatuh. Dia yang selalu mengerti aku. Dia juga yang selalu
ngotot menyuruhku segera menikah. Tika memang 2 tahun lebih muda dariku tapi
dia sudah menikah dan punya baby.
Terkadang aku iri
dengannya.
***
Aku makan siang di Restoran dekat kantor bersama Tika dan
Naila rekan kerjaku. Kebiasaan kami bertiga jika bosan dengan makanan di kantin
kantor. Diantara bertiga akulah yang tertua. Naila baru saja 23 tahun bulan
lalu. Dia juga punya pacar. Meskipun kehidupan percintaannya nggak pernah mulus
si, aku maklum aja dia masih remaja. Sementara aku udah nggak pantas lagi
dibilang remaja. Tapi pacarpun nggak punya.
“Mba, gue punya
kenalan buat mba, bentar lagi dateng” Bisik Naila. Lalu melirik ke arah
Tika. Mereka lalu tersenyum bersamaan.
Ini usaha mereka yang kesekian kali mengenalkan aku dengan
teman-temannya.
“Gantengkan” ucapku
menggoda.
“sip” Tika dan
Naila bersamaan mengajungkan jempolnya.
Dari arah pintu masuk muncul sosok pria dewasa berperawakan
gagah, rambutnya rapi, dan pakainya juga necis. Sepertinya teman Naila ini juga
pekerja kantoran.
“ Itu Bams” Naila memberi isyarat.
Bams mendekati meja kami.
“ Hai,,” Senyumnya manis dan terlihat berwibawa.
“kenalin, ini Bams temen kuliah gue” Dengan bangganya Naila
mengenalkan.
Aku mengulurkan tangan, “ Della”. “Bams” Bams mengenggam tanganku dan
diremasnya pelan.
“ Tika” Dia pura-pura
berkenalan lagi. Bams hanya tersenyum. Senyumnya khas dengan lesung di kedua pipinya. Bams
mengambil posisi di sampingku. Lalu kami larut dalam perbincangan. Aku dan Bams
juga sempat bertukar pin BB.
Secara fisik dia memang menarik. Gagah. Tapi entah kenapa aku tak tertarik sedikitpun dengannya.
Rasa cintaku masih tersimpan rapi untuknya. Dia yang
kuimpikan akan menjadi suami dinikah mudaku. Tapi semua itu hanya angan belaka.
Dia entah menghilang kemana. Aku tak
tahu lagi dimana sekarang.
****
Esok paginya aku ke kantor dengan suasana yang biasa saja.
Masih bergejolak pertanyaan “kapan aku
segera menikah” yang seakan-akan selalu menghantuiku. Sekarang aku mulai
mencemaskan keadaanku ini.
“Semua sudah diatur”
Aku menghibur diri.
“ Gimana mba, udah
bbman sama Bams” Naila muncul tiba-tiba dari balik koridor.
“ Ih ngagetin aja
dech” Aku pura-pura ngambek.
“maaf-maaf” Naila
itu sangat periang, lucu dan mungkin dia salah satu teman yang memberi aku efek
awet muda.
“ Mba sama Bams biasa
aja kok, lagian elo ngenalin mba cowo 26 tahun. Lupa kriteria mba ya” Aku
berkata jujur. Sentak aja membuat Naila tepok jidat.
“Oh my God, gue
bener-bener lupa dan nggak kepikiran, abis kita dah kompak gini jadi lupa kalau
mba udah hehehehe” Naila cengar-cengir
“ gagal dong usaha gue
dan mba Tika “ Tika mulai cemberut.
“ terbuktikan kalau
mba masih keliatan umur 23 tahun” Ucapku sambil ketawa bangga.
“ iya iya” Naila
mencupit pinggangku.
Untuk urusan penampilan aku memang nggak keliatan tua
banget. Aku masih bisa modis dan elegan. Kalau aku jalan sama Naila, aku masih
pantas di bilang umur 24 tahun lah. Bahkan untuk urusan penampilan aku masih
jauh lebih muda dibanding Tika. Ya mungkin karena faktor status kali ya.
Aku mulai bekerja dengan seambrek deadline kantor. Saat
itulah aku bisa melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sering menghantuiku.
Sesekali aku melirik foto yang aku sembunyikan dibalik laci
mejaku. DIA. Aku masih menunggu.
Hampir sepuluh tahun aku tak mengetahui kabarnya. Selama hampir sepuluh tahun itulah aku sulit mencintai orang lain.
Meskipun selama itu aku mencoba berpacaran dengan pria lain. Nyatanya aku hanya
membohongi perasaanku sendiri. Aku masih mencintainya. Aku masih mengharapkan
dia menikahiku meski aku nggak muda lagi.
Kembali aku menghadapi laporan-laporan perusahaan yang
sempat tertunda beberapa menit.
****
“ Assalamualaikum”
Teriakku dari balik pintu rumah yang setia menantiku kembali.
“walaikum salam wr wb”
suara mama dan entahlah. Papa, sepertinya jam segini papa masih mengurusi
ikan-ikannya di pemancingan.
Aku masuk dan,,,, Mama sama aja seperti Tika dan juga Naila.
Selalu tak percaya jika aku bisa
menemukan jodohku sendiri.
“ Kenalin ini mas
Ibrahim” Ucap mama sumringah. Keriput diwajahnya seolah lenyap. Aku semakin
menggalau ria dan merasa bersalah dengan Mama. Mengapa aku nggak cepat menikah.
Kebahagiaan orang itu lengkap ketika
anak gadisnya dilamar pria yang mapan dan juga sholeh.
Aku tersenyum dan melangkah mendekati Mama dan juga mas
Ibrahim. Sosok pria yang terlihat sangat dewasa. Gurat di wajahnya nyaris
terlihat jelas. Aku perkirakan umurnya
hampir 40 tahun. Ah masa setua itu.
“ Mas Ibrahim ini
dokter di kliniknya Mama”
“ oh,,, kok Mama baru
kenalin sekarang si?” Protesku.
“ nanti Mas Ibrahim juga cerita sendiri” Ucap Mama melirik
ke arah Mas Ibrahim.
Mas Ibrahim tersenyum ramah.
“ Mama buatin minum
dulu ya” seolah Mama membiarkan aku dan mas Ibrahim mengobrol berdua. Dasar
Mama.
“Pulang kantor sering
sore begini ya” Mas Ibrahim memulai pembicaraan setelah Mama menghilang
dibalik tirai.
“Iya” jawabku
singat.
“ Aku datang ke sini
mau ngelamar kamu” Ucapnya serius. Jelas saja perkataannya membuatku jantungan.
Kenal aja belum.
“ Tapikan kita belum saling
kenal mas, lagian aku belum siap menikah” Ucapku berusaha menolak. Jelas
aku nggak akan menikah dengan orang yang nggak aku cintai.
“Di usia segini masa
belum siap menikah” Ucapnya.
Aku bingung. Aku tak punya alasan yang jelas untuk
menolaknya. Aku nggak punya pacar. Aku sudah 29 tahun. Karier Bagus. Sepertinya
nggak ada alasan lain untuk tidak segera menikah.
“mas Ibrahim disuruh
Mama kan, Kalau mas Ibrahim nolak takut dipecat Mama kan?” Spontan
kata-kata itu terlontar dari mulutku. Air mataku seketika itu mengalir.
“ Nggak Del, aku
mencintaimu. Aku butuh Ibu untuk anakku Mawar.” Ucap Mas Ibrahim.
“ Anak?” Aku
bingung.
“ Iya, aku punya anak
4 tahun. Istriku meninggal 3 tahun lalu gara-gara kecelakaan. Jelas aku
menikahimu bukan karena Tante Susi” Mas Ibrahim menjelaskan.
“Tapi nggak cepet ini
Mas, Aku butuh waktu”.
“ Iya aku ngerti”
Ujarnya kemudian.
Mama keluar dengan nampan dua cangkir kopi dan juga nastar.
“Maaf ya Mama lama, tadi
ada telepon dari pasien” Alasan wajar yang sering dilontarkan Mama saat ada
pria yang ingin ngobrol berdua di rumah. Mama sok pengertian.
“ Nggak papa Tante...”
ucapnya sambil tetap berusaha tenang meski telah ku tolak.
“Ma, aku ganti baju
dulu ya, gerah” Aku beralasan agar bisa secepatnya melarikan diri dalam
situasi ini.
Mama dan Mas Ibrahim hanya tersenyum.
Aku masuk kamar. Tangisku pecah. Entah mengapa kali ini aku
begitu rapuh. Aku gampang tersinggung dengan lingkunganku yang seakan
memojokkan aku. Seolah-olah menyuruhku
menikah dengan siapapun yang mau, daripada aku nggak menikah. Intinya
mereka menganggapku nggak laku. Terutama Mama, Mama selalu mempromosikan statusku
yang masih lajang.
Kembali aku mengambil foto Radit dan memandanginya
lekat-lekat. “seandainya ada kamu, aku
nggak akan begini”. Ucapku seakan-akan dia mendengar.
Nadaku sedikit menyalakan dia yang bertahun-tahun
meninggalkanku. Menggantungkan hubungan yang sudah 5 tahun terbangun. Tak mudah
bagiku untuk melupakannya.
Aku yakin dimanapun dia berada pasti akan kembali menemuiku.
Meminta maaf. Itulah pikiran percaya diri yang membuatku nggak bisa mencintai
orang lain.
“ Ngapain si masih
nunggu orang nggak pasti kayak dia. Buka mata elo Del, sadar. Elo nggak akan
kayak gini teruskan. Jadi pecundang. Mikir dong Del, kali aja dia udah nikah
dan sampe elo tuapun dia nggak akan nemuin elo” Perkataan Tika kala itu
benar-benar seperti tamparan.
Aku kembali terisak.
Tiba-tiba Mama sudah dibelakangku. Mama memelukku.
“Sudahlah nak, lupakan
Radit. Menikahlah dengan mas Ibrahim. Mama tahu yang terbaik buat kamu. Mama
yakin Radit bukan orang baik-baik. Kalau dia memang mencintai kamu, dia nggak
akan seperti ini. “Mama membujukku.
“Tapi Ma, aku nggak
mencintai Mas Ibrahim” Aku berusaha tetap bersikukuh akan menunggu cinta pertamaku.
“ Dulu Mama sama Papa
juga dijodohkan. Sama-sama belum kenal. Tapi sekarang hidup kami bahagiakan”. Mama terus meyakinkan aku.
“Percaya sama aku Ma, aku bisa menemukan pendamping hidup sendiri”
“ Mana buktinya, udah
hampir 30 tahun Del, sebentar lagi kamu udah nggak produktif lagi. Orang tua
mana yang bisa tenang anak gadis belum
menikah diusia segitu.” Mama mulai jengkel.
“maafin Della Ma, Aku
belum bisa bahagiain Mama sama Papa” Air mataku semakin merebah.
“Pokoknya Mama sama
Papa nggak mau tahu, 3 Bulan lagi Kamu menikah sama mas Ibrahim” Mama
meninggalkan aku sendiri.
“Tapi Ma...”
Sekuat tenaga aku mengelak.
Mama tak memperdulikan aku lagi. 3 Bulan lagi. Mama hanya
memberikan waktu 3 bulan untuk saling mengenal. Setelah itu aku akan menjadi
seorang ibu dari anak 4 tahun. Mimpi apa semalam.
****
Rasanya berangkat ke kantor hari ini benar-benar nggak
semangat. Mataku sembab. Hidungku mampet. Penampilanku kucel.
“Mba kenapa kucel amat
si” Ledek Naila yang aku temui di parkiran.
Aku tersenyum kecil.
“Cerita dong mba”
Paksa Naila Penasaran.
“Nanti ajalah nunggu
Tika sekalian, jadi mba nggak cerita dua kali” ucapku kemudian.
Naila clinga-clikuk berharap Tika muncul. Rupanya dia sudah
penasaran banget.
“Mba sini...”
Teriak Naila sambil melambaikan tangan ke arah Tika yang belum selesai menutup
pintu mobilnya.
Tika mendekatiku dan juga Naila.
“Ne udah ada mba Tika
ayo crita” Naila udah nggak sabar.
“3 bulan lagi gue
nikah” ucapku datar.
“ hooorrrreeee... “ Teriak Tika dan Naila hampir meloncat
girang.
“akhirnya...”
sambung Tika masih tersenyum sumringah seperti mendapat uang puluhan juta.
“ sama siapa mba? Pasti
gagah dech” Naila semakin ingin tahu.
“Dokter di kliniknya
Mama, gue berusaha nolak, tapi Mama Maksa. Dia Duda beranak satu. Namanya Mas
Ibrahim” Ucapku tanpa bersemangat.
“ Disyukuri aja Del,
itu namanya bonus. Bentar lagi kan elo langsung jadi IBU” Tika
menyemangati.
“ Iya mba, udah lupain
mas Radit” Naila nggak mau kalah.
“ Gue pasrah... nasib
perawan tua” ucapku lemas.
Tika dan Naila hanya tersenyum saling bertatapan lalu
memelukku.
“Tapi tetep cantik dan elegan” teriaknya.
****
Satu bulan udah
berlalu, itu artinya pernikahanku dengan mas Ibrahim akan segera berlangsung. Aku akan mengubur semua kenangan, angan dan
semua tentangnya. Dia akan hilang dan benar-benar akan hilang.
Penantian ini akan usai, meski tak berakhir seperti yang aku
harapkan. Usai. Berakhir.
“Rasanya malas sekali
pulang” pikirku.
Aku membelok ke arah cafe. Dulu bersamanya aku hampir setiap
hari ke situ. Suasananya hening. Bisa menghitung ribuan bintang. Bintang yang
selalu aku dan dia maksud itu ribuan lampu penduduk. Dari Cafe itu bisa melihat
keindahan bintang-bintang yang terus berkelip sepanjang malam.
Aku mengambil posisi duduk di dekat jendela. Tepat ini
bangku yang selalu aku duduki bersama Radit 9 tahun lalu. Lama. Lama sekali.
Pramuniaga mendekatiku. “Mba, coklat panas dua sama kentang
goreng satu, kacang rebusnya dua ya”.
Pramuniaga mencatat pesananku dan berlalu.
Itu menu yang selalu aku pilih bersamanya.
“Kentang gorengnya kok Cuma
satu”protesku. “gak papa kan kita
bisa berebut” ucapnya jail. Aku hanya manyun-manyun aja kala itu.
“ ih nggak usah
poto-potoin aku ah...malu diliatin orang” aku berusaha menutupi wajahku
dengan kedua tangan.
“Kamu jelek si mirip
patkay” tawanya meledak-ledak. Aku
lalu menendang-nendang kakinya.
Dia mengenggam tanganku erat-erat. “aku sayang banget sama kamu” bisiknya. “aku takut suatu saat nanti nggak bisa liat kamu seleluasa ini”
“Memangnya kamu mau
kemana” Tiba-tiba wajahku merubah masam.
“bentar lagi aku pergi
jauh, dan mungkin aku nggak bisa menghubungi kamu lagi” Ucapnya sambil
terus menggenggam tanganku. Makin kencang.
“ nggak usah becanda
ah” mataku berkaca-kaca.
“tapi tenang suatu
saat nanti aku akan kembali dan melamarmu, Kita akan menikah” Dia mulai
sumringah.
“Kita nikah muda” ucapku kemudian.
Dia hanya mengangguk.
“ Belum tentu juga”
lanjutnya setelah diam beberapa saat.
“ Ini mba pesanannya”
Pramuniga itu membuyarkan lamunanku.
“ Iya terima kasih”
kataku.
Aku kembali menatap bohlam-bohlam yang jumlahnya ribuan
sambil berkaca-kaca.
“semua hanya tinggal
kenangan” bisikku.
****
Malam ini aku pulang terlalu larut. Aku terbawa angan yang
mulai redup. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa leluasa bernostalgia. Selebihnya
entahlah...
“Ada mobil siapa ne
malem-malem gini” Pikirku saat mendapati mobil Jazz hitam terparkir di halaman.
“Siapa Ma.... “teriakku
sampai lupa mengucap salam.
“ Kok nggak salam"
protes Papa
“Assalamualaikum”
kataku kemudian...
“ Walaikum salam wr wb”
Aku mengecilkan mataku dan berusaha mengamati lebih jelas
lagi. Aku mengucek mataku. Kali saja aku sudah mengantuk dan muncul
imajinasi-imajinasi yang aku pikirkan saat itu.
“Ini aku, Radit” Ucapnya menyakinkan.
Suaranya memang suara Radit, lama sekali. Suara yang selalu
aku rindukan.
Dia sangat berubah. Lebih gagah. Berkaca mata dan terlihat
sangat dewasa. Bukan cowok tengil yang suka menjaili aku dulu. Aku mendekat dan
spontan langsung memeluknya.
“emm....emmmm”
Papa memberi isyarat.
“Maaf” Aku beralih
duduk di sampingnya. Tak henti memandanginya.
“Pulangnya kok malem
banget?” tanyanya. Aku baru menyesali kenapa tadi nggak langsung pulang ya.
“Dari cafe panorama”Ucapku.
“Kamu masih sering ke
sana, sama siapa”
“sendiri” jawabku
dengan ceria. Bola mataku tak henti mengamatinya. Menatapnya. Banyak yang
berubah.
“Kasian Radit dah
nunggu dari abis magrib, eh malah pulang jam 11” ucap Mama.
“ Maaf, Ma. Tadi aku
mampir Cafe eh jadi malas pulang” kataku jujur. Aku dan Mama memang
terlihat seperti kakak beradik. Terlalu dekat dan terbuka.
Spontan aku melirik jarinya, belum ada satupun cicin yang
melingkar di sana. Wajahku semakin berseri-seri.
“Mama udah cerita
semua sama Radit” ucap Mama.
“tentang pernikahan
itu” aku khawatir Mama mengatakan pada Radit.
“selamat ya...” dia
menyalamiku. Aku menipisnya.
“ Aku nggak
mencintainya” Air mataku mulai berlinang.
“Aku belum selesai
ngomong udah nyerocos aja, belum berubah ya” dia mencubit lenganku.
Auuuu.....
“Terus selamat apa?”
“Selamat ya Radit
Kusuma Wijaya udah kembali dan akan menikahi Della Putri Kirana sesuai janjinya”
Ucapnya lantang di depan Papa dan Mama.
Tubuhku lemas. Bahagia sekali hati ini. Sungguh seperti ada
kekuatan aneh yang mengenai tubuhku. Seperti mimpi.” Semoga ini bukan mimpi Tuhan “bisikkupenuh harap.
Aku melirik Mama dan Papa satu-satu. Mereka mengangguk dan
tersenyum.
Radit Kusuma Wijaya memang hebat 9 tahun menghilang tanpa
kabar, dengan beberapa jam saja bisa mengambil hati Mama dan Papa. Keren.
Aku tak salah
mencintainya, aku tak sia-sia menunggunya. Nostalgia itu bukan yang terakhir, tapi
awal memulai kehidupan baru bersamanya. Aku akan menikah.
Anganku menikah muda sirna tak masalah yang penting aku
menikah dengannya. Dia Radit Kusuma Wijaya.
END
bagus ki \(ˇ▽ˇ)/ tapi ceritanya itu lho.. hoahahahaha
BalasHapushehehe emang ceritanya aneh dan standar banget... msh pemikiran anak 16 tahun kale ya wkwkwkwkk
BalasHapusKeren baguss,sampe nangis aku bacanya, happy ending yaaaa, hiks
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushohoho, nyasar ke blog orang, gak bakal ngira ujungnya hepi ending, salut buat yg nulis dah ^_^
BalasHapusRastha Spinelli : Terima kasih sudah membaca ;)
BalasHapusAlvian : hehehe terima kasih ^^
untuk nikah ini persiapannya
BalasHapuskebaya muslim modern untuk acara nikah yang mempesona