Sabtu, 04 Agustus 2012

Aku Ingin Nikah Muda


Sepertinya aku harus mengubur semua angan-anganku di masa muda dulu. Semua keinginan itu tak akan terwujud lagi. Aku mulai membereskan rak-rak buku yang memenuhi kantor kerjaku. Aku sudah bertahun-tahun bekerja menjadi Sekretaris Direktur di perusahaan swasta di Jakarta. Orang bilang aku tipe cewek yang selalu mengejar karier setinggi-tingginya tanpa mementingkan cinta. Pernikahan. Mereka semua salah. Aku ingin sekali menikah muda. Memiliki anak dan menjadi ibu rumah tangga. 

“Del, elo tahun depan udah kepala 3 lho. Masa lho nggak nikah si? Elo nggak takut apa?” Ucap Tika teman sekantorku. Pertanyaan Tika dan beberapa orang disekitarku tak hanya sekali dua kali mereka lontarkan. Sering. Bosan. Aku sangat bosan dengan pertanyaan yang seakan-akan memojokkanku. Menganggapku nggak laku. Mengolok-olok aku perawan tua.
 
Sering kali aku menangis. Bahkan aku menanyakan pada diriku sendiri kapan aku akan menikah. 


“tok...tok...tok..” Bunyi ketokan pintu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. 

“masuk” jawabku sekenanya.

Tika masuk dengan senyum sumringah. 

“Gue, pulang dulu ya Del, kangen baby Cylen di rumah” Ucapnya seakan memamerkan sesuatu yang belum aku miliki. 

“ Iya hati-hati ya” Ucapku berusaha menarik kedua ujung bibirku. 

Aku dan Tika memang sangat dekat. Dia sahabatku yang selalu ada disaat aku terjatuh. Dia yang selalu mengerti aku. Dia juga yang selalu ngotot menyuruhku segera menikah. Tika memang 2 tahun lebih muda dariku tapi dia sudah menikah dan punya baby.

Terkadang aku iri dengannya.

***

Aku makan siang di Restoran dekat kantor bersama Tika dan Naila rekan kerjaku. Kebiasaan kami bertiga jika bosan dengan makanan di kantin kantor. Diantara bertiga akulah yang tertua. Naila baru saja 23 tahun bulan lalu. Dia juga punya pacar. Meskipun kehidupan percintaannya nggak pernah mulus si, aku maklum aja dia masih remaja. Sementara aku udah nggak pantas lagi dibilang remaja. Tapi pacarpun nggak punya. 

“Mba, gue punya kenalan buat mba, bentar lagi dateng” Bisik Naila. Lalu melirik ke arah Tika. Mereka lalu tersenyum bersamaan. 

Ini usaha mereka yang kesekian kali mengenalkan aku dengan teman-temannya. 

“Gantengkan” ucapku menggoda. 

“sip” Tika dan Naila bersamaan mengajungkan jempolnya. 

Dari arah pintu masuk muncul sosok pria dewasa berperawakan gagah, rambutnya rapi, dan pakainya juga necis. Sepertinya teman Naila ini juga pekerja kantoran. 

“ Itu Bams” Naila memberi isyarat. 

Bams mendekati meja kami. 

“ Hai,,” Senyumnya manis dan terlihat berwibawa. 

“kenalin, ini Bams temen kuliah gue” Dengan bangganya Naila mengenalkan.

Aku mengulurkan tangan, “ Della”.  “Bams” Bams mengenggam tanganku dan diremasnya pelan. 

“ Tika”  Dia pura-pura berkenalan lagi. Bams hanya tersenyum. Senyumnya khas  dengan lesung di kedua pipinya. Bams mengambil posisi di sampingku. Lalu kami larut dalam perbincangan. Aku dan Bams juga sempat bertukar pin BB. 

Secara fisik dia memang menarik. Gagah. Tapi entah kenapa aku tak tertarik sedikitpun dengannya. 

Rasa cintaku masih tersimpan rapi untuknya. Dia yang kuimpikan akan menjadi suami dinikah mudaku. Tapi semua itu hanya angan belaka. Dia entah menghilang kemana. Aku tak tahu lagi dimana sekarang. 

****
Esok paginya aku ke kantor dengan suasana yang biasa saja. Masih bergejolak pertanyaan “kapan aku segera menikah” yang seakan-akan selalu menghantuiku. Sekarang aku mulai mencemaskan keadaanku ini. 

“Semua sudah diatur” Aku menghibur diri. 

“ Gimana mba, udah bbman sama Bams” Naila muncul tiba-tiba dari balik koridor. 

“ Ih ngagetin aja dech” Aku pura-pura ngambek. 

“maaf-maaf” Naila itu sangat periang, lucu dan mungkin dia salah satu teman yang memberi aku efek awet muda. 


“ Mba sama Bams biasa aja kok, lagian elo ngenalin mba cowo 26 tahun. Lupa kriteria mba ya” Aku berkata jujur. Sentak aja membuat Naila tepok jidat. 


“Oh my God, gue bener-bener lupa dan nggak kepikiran, abis kita dah kompak gini jadi lupa kalau mba udah hehehehe” Naila cengar-cengir 

“ gagal dong usaha gue dan mba Tika “  Tika mulai cemberut. 

“ terbuktikan kalau mba masih keliatan umur 23 tahun” Ucapku sambil ketawa bangga. 
“ iya iya” Naila mencupit pinggangku. 

Untuk urusan penampilan aku memang nggak keliatan tua banget. Aku masih bisa modis dan elegan. Kalau aku jalan sama Naila, aku masih pantas di bilang umur 24 tahun lah. Bahkan untuk urusan penampilan aku masih jauh lebih muda dibanding Tika. Ya mungkin karena faktor status kali ya. 

Aku mulai bekerja dengan seambrek deadline kantor. Saat itulah aku bisa melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sering menghantuiku. 

Sesekali aku melirik foto yang aku sembunyikan dibalik laci mejaku. DIA. Aku masih menunggu. Hampir sepuluh tahun aku tak mengetahui kabarnya. Selama hampir sepuluh tahun itulah aku sulit mencintai orang lain. Meskipun selama itu aku mencoba berpacaran dengan pria lain. Nyatanya aku hanya membohongi perasaanku sendiri. Aku masih mencintainya. Aku masih mengharapkan dia menikahiku meski aku nggak muda lagi. 


Kembali aku menghadapi laporan-laporan perusahaan yang sempat tertunda beberapa menit. 


****


“ Assalamualaikum” Teriakku dari balik pintu rumah yang setia menantiku kembali.


“walaikum salam wr wb” suara mama dan entahlah. Papa, sepertinya jam segini papa masih mengurusi ikan-ikannya di pemancingan. 


Aku masuk dan,,,, Mama sama aja seperti Tika dan juga Naila. Selalu tak percaya jika aku bisa menemukan jodohku sendiri. 

“ Kenalin ini mas Ibrahim” Ucap mama sumringah. Keriput diwajahnya seolah lenyap. Aku semakin menggalau ria dan merasa bersalah dengan Mama. Mengapa aku nggak cepat menikah. Kebahagiaan orang itu lengkap ketika anak gadisnya dilamar pria yang mapan dan juga sholeh.

 
Aku tersenyum dan melangkah mendekati Mama dan juga mas Ibrahim. Sosok pria yang terlihat sangat dewasa. Gurat di wajahnya nyaris terlihat jelas. Aku  perkirakan umurnya hampir 40 tahun. Ah masa setua itu. 

“ Mas Ibrahim ini dokter di kliniknya Mama” 

“ oh,,, kok Mama baru kenalin sekarang si?” Protesku. 

“ nanti Mas Ibrahim juga cerita sendiri” Ucap Mama melirik ke arah Mas Ibrahim.
Mas Ibrahim tersenyum ramah. 

“ Mama buatin minum dulu ya” seolah Mama membiarkan aku dan mas Ibrahim mengobrol berdua. Dasar Mama. 

“Pulang kantor sering sore begini ya” Mas Ibrahim memulai pembicaraan setelah Mama menghilang dibalik tirai. 

“Iya” jawabku singat.

“ Aku datang ke sini mau ngelamar kamu” Ucapnya serius. Jelas saja perkataannya membuatku jantungan. Kenal aja belum. 

“ Tapikan kita belum saling kenal mas, lagian aku belum siap menikah” Ucapku berusaha menolak. Jelas aku nggak akan menikah dengan orang yang nggak aku cintai. 

“Di usia segini masa belum siap menikah” Ucapnya. 

Aku bingung. Aku tak punya alasan yang jelas untuk menolaknya. Aku nggak punya pacar. Aku sudah 29 tahun. Karier Bagus. Sepertinya nggak ada alasan lain untuk tidak segera menikah. 

“mas Ibrahim disuruh Mama kan, Kalau mas Ibrahim nolak takut dipecat Mama kan?” Spontan kata-kata itu terlontar dari mulutku. Air mataku seketika itu mengalir.

“ Nggak Del, aku mencintaimu. Aku butuh Ibu untuk anakku Mawar.” Ucap Mas Ibrahim. 

“ Anak?” Aku bingung.

“ Iya, aku punya anak 4 tahun. Istriku meninggal 3 tahun lalu gara-gara kecelakaan. Jelas aku menikahimu bukan karena Tante Susi” Mas Ibrahim menjelaskan. 

“Tapi nggak cepet ini Mas, Aku butuh waktu”. 

“ Iya aku ngerti” Ujarnya kemudian.

Mama keluar dengan nampan dua cangkir kopi dan juga nastar. 

“Maaf ya Mama lama, tadi ada telepon dari pasien” Alasan wajar yang sering dilontarkan Mama saat ada pria yang ingin ngobrol berdua di rumah. Mama sok pengertian. 

“ Nggak papa Tante...” ucapnya sambil tetap berusaha tenang meski telah ku tolak. 

“Ma, aku ganti baju dulu ya, gerah” Aku beralasan agar bisa secepatnya melarikan diri dalam situasi ini.
Mama dan Mas Ibrahim hanya tersenyum. 

Aku masuk kamar. Tangisku pecah. Entah mengapa kali ini aku begitu rapuh. Aku gampang tersinggung dengan lingkunganku yang seakan memojokkan aku. Seolah-olah menyuruhku menikah dengan siapapun yang mau, daripada aku nggak menikah. Intinya mereka menganggapku nggak laku. Terutama Mama, Mama selalu mempromosikan statusku yang masih lajang. 


Kembali aku mengambil foto Radit dan memandanginya lekat-lekat. “seandainya ada kamu, aku nggak akan begini”. Ucapku seakan-akan dia mendengar. 

Nadaku sedikit menyalakan dia yang bertahun-tahun meninggalkanku. Menggantungkan hubungan yang sudah 5 tahun terbangun. Tak mudah bagiku untuk melupakannya. 

Aku yakin dimanapun dia berada pasti akan kembali menemuiku. Meminta maaf. Itulah pikiran percaya diri yang membuatku nggak bisa mencintai orang lain. 

“ Ngapain si masih nunggu orang nggak pasti kayak dia. Buka mata elo Del, sadar. Elo nggak akan kayak gini teruskan. Jadi pecundang. Mikir dong Del, kali aja dia udah nikah dan sampe elo tuapun dia nggak akan nemuin elo” Perkataan Tika kala itu benar-benar seperti tamparan. 


Aku kembali terisak. 


Tiba-tiba Mama sudah dibelakangku. Mama memelukku. 


“Sudahlah nak, lupakan Radit. Menikahlah dengan mas Ibrahim. Mama tahu yang terbaik buat kamu. Mama yakin Radit bukan orang baik-baik. Kalau dia memang mencintai kamu, dia nggak akan seperti ini. “Mama membujukku. 

“Tapi Ma, aku nggak mencintai Mas Ibrahim” Aku berusaha tetap bersikukuh akan menunggu cinta pertamaku. 

“ Dulu Mama sama Papa juga dijodohkan. Sama-sama belum kenal. Tapi sekarang hidup kami  bahagiakan”. Mama terus meyakinkan aku. 

“Percaya sama aku Ma, aku bisa menemukan pendamping hidup sendiri” 

“ Mana buktinya, udah hampir 30 tahun Del, sebentar lagi kamu udah nggak produktif lagi. Orang tua mana yang bisa tenang anak gadis belum  menikah diusia segitu.” Mama mulai jengkel.

“maafin Della Ma, Aku belum bisa bahagiain Mama sama Papa” Air mataku semakin merebah. 

“Pokoknya Mama sama Papa nggak mau tahu, 3 Bulan lagi Kamu menikah sama mas Ibrahim” Mama meninggalkan aku sendiri. 

“Tapi Ma...” Sekuat tenaga aku mengelak. 

Mama tak memperdulikan aku lagi. 3 Bulan lagi. Mama hanya memberikan waktu 3 bulan untuk saling mengenal. Setelah itu aku akan menjadi seorang ibu dari anak 4 tahun. Mimpi apa semalam. 


****

Rasanya berangkat ke kantor hari ini benar-benar nggak semangat. Mataku sembab. Hidungku mampet. Penampilanku kucel. 

“Mba kenapa kucel amat si” Ledek Naila yang aku temui di parkiran. 


Aku tersenyum kecil. 

“Cerita dong mba” Paksa Naila Penasaran. 

“Nanti ajalah nunggu Tika sekalian, jadi mba nggak cerita dua kali” ucapku kemudian. 

Naila clinga-clikuk berharap Tika muncul. Rupanya dia sudah penasaran banget. 

“Mba sini...” Teriak Naila sambil melambaikan tangan ke arah Tika yang belum selesai menutup pintu mobilnya. 

Tika mendekatiku dan juga Naila. 

“Ne udah ada mba Tika ayo crita” Naila udah nggak sabar. 

“3 bulan lagi gue nikah” ucapku datar. 

“ hooorrrreeee... “ Teriak Tika dan Naila hampir meloncat girang. 

“akhirnya...” sambung Tika masih tersenyum sumringah seperti mendapat uang puluhan juta. 

“ sama siapa mba? Pasti gagah dech” Naila semakin ingin tahu. 

“Dokter di kliniknya Mama, gue berusaha nolak, tapi Mama Maksa. Dia Duda beranak satu. Namanya Mas Ibrahim” Ucapku tanpa bersemangat.

“ Disyukuri aja Del, itu namanya bonus. Bentar lagi kan elo langsung jadi IBU” Tika menyemangati. 

“ Iya mba, udah lupain mas Radit” Naila nggak mau kalah. 

“ Gue pasrah... nasib perawan tua” ucapku lemas. 

Tika dan Naila hanya tersenyum saling bertatapan lalu memelukku. 

“Tapi tetep cantik dan elegan” teriaknya. 


****


Satu  bulan udah berlalu, itu artinya pernikahanku dengan mas Ibrahim akan segera berlangsung.  Aku akan mengubur semua kenangan, angan dan semua tentangnya. Dia akan hilang dan benar-benar akan hilang. 

Penantian ini akan usai, meski tak berakhir seperti yang aku harapkan. Usai. Berakhir. 

“Rasanya malas sekali pulang” pikirku. 


Aku membelok ke arah cafe. Dulu bersamanya aku hampir setiap hari ke situ. Suasananya hening. Bisa menghitung ribuan bintang. Bintang yang selalu aku dan dia maksud itu ribuan lampu penduduk. Dari Cafe itu bisa melihat keindahan bintang-bintang yang terus berkelip sepanjang malam. 


Aku mengambil posisi duduk di dekat jendela. Tepat ini bangku yang selalu aku duduki bersama Radit 9 tahun lalu. Lama. Lama sekali. 


Pramuniaga mendekatiku. “Mba, coklat panas dua sama kentang goreng satu, kacang rebusnya dua ya”. 


Pramuniaga mencatat pesananku dan berlalu. 

Itu menu yang selalu aku pilih bersamanya. 

“Kentang gorengnya kok Cuma satu”protesku. “gak papa kan kita bisa berebut” ucapnya jail. Aku hanya manyun-manyun aja kala itu. 


“ ih nggak usah poto-potoin aku ah...malu diliatin orang” aku berusaha menutupi wajahku dengan kedua tangan. 


“Kamu jelek si mirip patkay” tawanya meledak-ledak.  Aku lalu menendang-nendang kakinya. 


Dia mengenggam tanganku erat-erat. “aku sayang banget sama kamu” bisiknya. “aku takut suatu saat nanti nggak bisa liat kamu seleluasa ini” 


“Memangnya kamu mau kemana” Tiba-tiba wajahku merubah masam. 


“bentar lagi aku pergi jauh, dan mungkin aku nggak bisa menghubungi kamu lagi” Ucapnya sambil terus menggenggam tanganku. Makin kencang. 

“ nggak usah becanda ah” mataku berkaca-kaca. 

“tapi tenang suatu saat nanti aku akan kembali dan melamarmu, Kita akan menikah” Dia mulai sumringah. 

“Kita nikah muda” ucapku kemudian. 

Dia hanya mengangguk. 

“ Belum tentu juga” lanjutnya setelah diam beberapa saat.


“ Ini mba pesanannya” Pramuniga itu membuyarkan lamunanku. 


“ Iya terima kasih” kataku. 

Aku kembali menatap bohlam-bohlam yang jumlahnya ribuan sambil berkaca-kaca. 

“semua hanya tinggal kenangan” bisikku. 


****


Malam ini aku pulang terlalu larut. Aku terbawa angan yang mulai redup. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa leluasa bernostalgia. Selebihnya entahlah...


“Ada mobil siapa ne malem-malem gini” Pikirku saat mendapati mobil Jazz hitam terparkir di halaman. 

“Siapa Ma.... “teriakku sampai lupa mengucap salam.


“ Kok nggak salam" protes Papa

“Assalamualaikum” kataku kemudian...

“ Walaikum salam wr wb”

Aku mengecilkan mataku dan berusaha mengamati lebih jelas lagi. Aku mengucek mataku. Kali saja aku sudah mengantuk dan muncul imajinasi-imajinasi yang aku pikirkan saat itu. 

“Ini aku, Radit” Ucapnya menyakinkan. 


Suaranya memang suara Radit, lama sekali. Suara yang selalu aku rindukan. 

Dia sangat berubah. Lebih gagah. Berkaca mata dan terlihat sangat dewasa. Bukan cowok tengil yang suka menjaili aku dulu. Aku mendekat dan spontan langsung memeluknya. 

“emm....emmmm” Papa memberi isyarat. 

“Maaf” Aku beralih duduk di sampingnya. Tak henti memandanginya. 

“Pulangnya kok malem banget?” tanyanya. Aku baru menyesali kenapa tadi nggak langsung pulang ya. 

“Dari cafe panorama”Ucapku. 


“Kamu masih sering ke sana, sama siapa” 


“sendiri” jawabku dengan ceria. Bola mataku tak henti mengamatinya. Menatapnya. Banyak yang berubah.

“Kasian Radit dah nunggu dari abis magrib, eh malah pulang jam 11” ucap Mama. 

“ Maaf, Ma. Tadi aku mampir Cafe eh jadi malas pulang” kataku jujur. Aku dan Mama memang terlihat seperti kakak beradik. Terlalu dekat dan terbuka. 

Spontan aku melirik jarinya, belum ada satupun cicin yang melingkar di sana. Wajahku semakin berseri-seri. 

“Mama udah cerita semua sama Radit” ucap Mama. 

“tentang pernikahan itu” aku khawatir Mama mengatakan pada Radit. 

“selamat ya...” dia menyalamiku. Aku menipisnya. 

“ Aku nggak mencintainya” Air mataku mulai berlinang. 

“Aku belum selesai ngomong udah nyerocos aja, belum berubah ya” dia mencubit lenganku. 

Auuuu.....

“Terus selamat apa?” 

“Selamat ya Radit Kusuma Wijaya udah kembali dan akan menikahi Della Putri Kirana sesuai janjinya” Ucapnya lantang di depan Papa dan Mama. 

Tubuhku lemas. Bahagia sekali hati ini. Sungguh seperti ada kekuatan aneh yang mengenai tubuhku. Seperti mimpi.” Semoga ini bukan mimpi Tuhan “bisikkupenuh harap.

Aku melirik Mama dan Papa satu-satu. Mereka mengangguk dan tersenyum. 

Radit Kusuma Wijaya memang hebat 9 tahun menghilang tanpa kabar, dengan beberapa jam saja bisa mengambil hati Mama dan Papa. Keren.

Aku tak salah mencintainya, aku tak sia-sia menunggunya. Nostalgia itu bukan yang terakhir, tapi awal memulai kehidupan baru bersamanya. Aku akan menikah. 

Anganku menikah muda sirna tak masalah yang penting aku menikah dengannya. Dia Radit Kusuma Wijaya. 


END






7 komentar:

  1. bagus ki \(ˇ▽ˇ)/ tapi ceritanya itu lho.. hoahahahaha

    BalasHapus
  2. hehehe emang ceritanya aneh dan standar banget... msh pemikiran anak 16 tahun kale ya wkwkwkwkk

    BalasHapus
  3. Keren baguss,sampe nangis aku bacanya, happy ending yaaaa, hiks

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. hohoho, nyasar ke blog orang, gak bakal ngira ujungnya hepi ending, salut buat yg nulis dah ^_^

    BalasHapus
  6. Rastha Spinelli : Terima kasih sudah membaca ;)

    Alvian : hehehe terima kasih ^^

    BalasHapus

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang