Kamis, 08 September 2011

Cerpen [Aku Bukan Perempuan Sempurna]





“ Dia diceraikan suaminya karena tak bisa melayani”

“ Dia memang sudah gila”

“ Dia mungkin pernah diperkosa”

“ Tapi dia mau menikah lagi “

“ Lihat saja nanti, apakah pernikahannya awet”

 

Aku telah menutup rapat-rapat kedua kupingku. Aku hampir kehilangan kendaliku ketika gunjingan itu menimpaku. Aku sadar dengan posisiku, Aku berbeda dengan perempuan lain. 

Dalam ruang berbentuk lingkaran, orang-orang segera mengambil bagiannya dalam pesta. Menyantap semua yang selayaknya dihidangkan dalam perayaan. Di tengah-tengah mereka, ada sepasang mempelai pria dan wanita layaknya raja dan permaisuri. Pengantin wanita memucat memandangi suaminya. Pikiranku berkecambuk. 

Apakah suamiku nanti terima dengan kondisiku. Dengan psikisku sekarang ini. Rey memandangiku sembrani tersenyum. Sulit untukku balas senyum keramahannya itu. 

  Terbesit aura bahagia pada setiap wajah yang ku lihat. 

Aku hanya bungkam dan menatap kosong.

Binar-binar cahaya itu redup...

Pesta telah usai, aku dan Rey kembali ke rumah kami. Kami memang tak berencana untuk HoneyMoon. Banyak pekerjaan yang tertunda menjelang  penikahan kami. 

Malam pertama kami dihabiskan dengan memutar film, mengobrol, dan makan snack kesukaan kami. Aku merasa ini malam yang sangat indah. Kini ketakutan itu mengembara pergi dari jiwaku. Aku sangat menikmati kebersamaan kami. 

Rey mulai mengenggam jemariku, meremasnya. Hatiku berdebar tak terkendali. Pikiranku melayang. Ketakutan itu muncul kembali. Rey mengelus pundakku, mendekatkan wajahnya ke leherku. 

Secara tak sadar aku mengibaskan tangannya dari jemariku. Keringat dinginku leleh. 

“ Jangan sentuh aku...”

Aku berlari masuk kamar dan membanting pintu dengan kasar. 

Aku menangis dengan buaian masa lalu yang terus menghantuiku. 

“Lepaskan aku, jangan sentuh aku, aku tak mau menikah denganmu, aku tak sudi...” 

Iwan terus menghujani ciuman di sekujur tubuhku dengan kasar. Aku meronta sekuat tenaga.

“ Plaaaaaaaakkkkkkkkk” Pipiku memerah.

Tak hanya jiwaku yang pedih, seluruh tubuhku sakit, suaraku parau.

“Diiiaaam, kau telah sah menjadi istriku, kau harus melayaniku”

Iwan semakin membirahi....menurutku dia kelainan dalam menuruti kebutuhan biologisnya. Iwan harus menyakiti pasangannya saat akan bercinta.

Badanku lemas. Aku terbaring dengan selembar kain yang menutupi tubuhku. Isak tangisku tak terdengar lagi. Badanku benar-benar payah. 

Aku diperkosa oleh suamiku sendiri. 

Kelaminku tak henti mengeluarkan darah segar. Aku sangat kesakitan. Aku frustasi...

Setiap malam aku selalu menjadi pemuas nafsu birahinya. Aku tak layak lagi disebut sebagai istri. Dia selalu menamparku, memukulku, menjambakku saat aku tak mampu mengikuti kemauanya. Aku tersiksa. Aku tak sanggup dengan pernikahan ini. 

Hari-hariku hanya bisa terkapar di atas ranjang ...

Aku tak punya tenang lagi, barang sedikitpun untuk berjalan...untuk meronta...untuk menepis...aku tak mampu.

Aku terbaring lemah dengan kesakitanku...

“ Hana, aku tahu..... Aku mengerti hana “, Rey berbisik di balik pintu kayu kamar kami. 

Aku tetap menangis sesegukkan. Aku takut kekerasan itu menimpaku kembali. Aku masih dihantui rasa trauma membara dalam jiwaku.

“ Bukaan pintu untukku, Hana” 

Pelan-pelan aku memegang gagang pintu dan membukanya pelan.

Aku memeluk Rey erat. Air mataku tumpah ruah di bahu suamiku. 

“ Maafkan aku, Rey”

“ Iya Hana, Aku tau tak mudah untukmu menghilangkan trauma itu, aku terima kamu apa adanya, Kita belajar sama-sama”

Rey selalu mampu menguatkanku, menerimaku dan memahamiku. 

Pelukku semakin erat.

Hari-hari kami berjalan selayaknya teman di antara kami. 

Rey sangat memahami kondisiku, setiap kali dia ingin mencumbuku. Ketakutan itu menyerangku, seakan Iwan akan menerkamku dengan tatapan yang membuatku ingin muntah.

Bayangan iwan tak pernah hilang dari benakku. 

Rasa bersalah kini mulai menerpaku, Rey suamiku sekarang...namun aku tak mampu berperan sebagai istri yang baik. Aku tak sempurna.

Batin dan jiwaku beradu antara aku ingin menjadi istri yang baik dengan trauma pernikahan lamaku. Aku galau.

Rey terlihat sangat tulus mencintaiku, bersabar dan  menungguku hingga trauma itu benar-benar lenyap.

Rey tak pernah menuntutku untuk menjadi sempurna

Aku tak kuasa menahan tangis bahagia memiliki suami seperti Rey. Aku ingin membahagiakan Rey. Aku kembali menata tempat tidur kami yang selalu dibatasi dengan guling. 

Rey sedang menonton televisi sambil menikmati kopi racikanku. Aku mendekatinya,,,

Aku merangkul mesra tubuhnya dan menciumnya lembut.

Rey hanya diam tanpa respon apapun untuk sikapku yang mungkin sangat aneh dan tak biasa aku lakukan selama 1 bulan menikah. 

Aku membelai rambutnya, “ Aku mau kamu......” Bisikku 

Rey tak berkedip.

“ Rey, aku mau kamu menyentuhku......”

Ketakutan itu benar-benar mengembara jauh dari jiwaku dan mungkin tak kembali lagi.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang