Jumat, 16 September 2011

Cerpen [Dilema]




Kekosongan hati yang bertahun-tahun kurasakan tak dapat memberikan ketenangan batinku. Rasa bersalah yang kupendam terus menerus akhirnya meledak. Aku tak sanggup melewati hidup tanpanya. Perempuan yang telah sekian tahun kutinggalkan. Apakah pantas diri ini untuk mengucap kata maaf. Memohon untuk kembali kepadanya. Hatiku galau. Aku resah. Aku tak dapat mengendalikan ego-ku lagi. 


Disisiku memang ada perempuan yang sangat mencintaiku, namun aku semakin dihantui dengan rasa bersalah. Sejujurnya aku belum mampu menerima dia seutuhnya. Menggantikan Rere. Rere selalu terpatri dalam hatiku, dia satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh, membuatku tak dapat berkata-kata lagi, membuatku mabuk kebayang. Hanya Rere. 

Pilihan yang telah membuatku terpuruk, saat aku disudutkan untuk memilih kedua orang tuaku atau Rere, perempuan yang sangat aku cintai. Kedua-nya sangat berarti untuk hidupku, kelangsungan hidup. Aku tak mau dianggap sebagai anak durhaka jika tak memilih kedua orang tuaku. Disisi lain aku sangat kesakitan jika aku tak memilih Rere. Sungguh pelik masalah yang mencekikku. 

“  Mas, kenapa kamu selalu membandingkan aku dengan mantan kekasihmu itu, aku istrimu mas”

Kata-kata itu selalu menyudutkan aku, memojokkan aku, aku tak mampu menjawab itu semua. Aku tak sanggup. Aku tak bermaksud menyakiti hatinya. Cinta tak dapat dipaksaan. Aku tak mampu menghapus bayang-barang Rere. Terlebih Rere masih hidup. Dia masih dekat untuk digapai.

“ Kenapa dari awal kamu tak menolak pernikahan ini, ini menyakiti hatiku mas” Air matanya menetes. 

Aku tak tega melihatnya, aku teringat kembali saat air mata itu tumbah ketika Rere mengetahui aku telah menikah dengan wanita lain. Aku tahu hatinya hancur.

Aku merangkulnya pelan, memapahnya. Ku tau Rere sangat mencintaiku. Dia sangat kehilangan aku. Kami berdua telah membangun pondasi-pondasi untuk kehidupan berdua, namun semua itu runtuh dengan gablang-nya. 

Aku hanya diam menatap istriku. Tak mampuku berkata. Aku memang salah. 

“ Mas lakukan yang terbaik untukmu, aku ikhlas. “ Kata-kata yang membuatku tak percaya diucapkan oleh sania. Aku terpaku memandanginya. 

“ Apa maksud kata-kata barusan?”

“ Raihlah apa yang memang menjadi hak-mu, bukan aku yang selayaknya bersanding denganmu, Kejarlah Rere kembali. Gapailah dia sebelum dia menjadi milik orang lain”. Dengan ketegarannya Sania mengucapkan kata-kata yang telah sekian lama kunanti. Entah angin apa yang telah membiarkan aku terlepas kembali. 

“ Apa kamu benar-benar ikhlas melepaskanku, bagaimana dengan orang tua kita”. Aku meyakinkan Sania matang-matang. Aku tak ingin keputusan yang aku ambil salah lagi. 

Sikapku pada-nya telah sangat dingin dan acuh agar Sania sadar bahwa aku memiliki perempuan lain yang aku cintai. Tetapi kala itu Sania bersikeras ingin menikah denganku sehingga dia merayu kedua orang tuanya dan kedua orang tuaku untuk menikahkan kami. Aku mengakui sebagai laki-laki aku lemah, aku tak dapat memberontak, aku tak dapat memperjuangkan cintaku. Aku gagal.

“ Aku udah memikirkan matang-matang mas, berbulan-bulan kita menikah tak membawa kebahagiaan untuk kita berdua. Kita kehilangan hikmah menikah. Mungkin kita memang tak berjodoh. “ Dengan isakkannya Sania memelukku. 

Aku membalasnya. Sungguh tak tega melihat Sania menangis. 

“ Maafkan aku,,,aku tak...”

“ Sudahlah lupakan semua yang pernah terjadi, raihlah hak-mu”. Sania meninggalkan aku. 

Perasaanku kini campur aduk antara senang sedih dan bersalah. Aku benar-benar menjadi lelaki yang tak berguna. Aku telah menyakiti dua perempuan sekaligus. 

Kini aku baru menyadari jika hidup itu memang penuh dengan pilihan. Pilihan yang selalu menudutkanku. Salah mengambil keputusan segalanya akan hancur. Menyiksa batin yang tak mudah untuk dilupakan. 

Aku berbenah, tekatku telah bulat. Aku akan mencari Rere. Entah apakah dia akan menerimaku kembali atau tidak. Aku tak berniat untuk mundur. Aku akan mengapai apa yang telah menjadi hak-ku. 

Kota demi kota ku telusuri, sudut demi sudut ku datangi, tak lelah untuk tetap mencari orang yang telah sekian tahun aku tinggalkan. Orang yang telah menungguku sekian lama dan mendapati aku kembali kepadanya saat aku telah menikah.Menikah karena memenuhi urusan kantor dan kedua orang tua kami. Sungguh hati ini sangat berdosa untuknya. Pantaskah aku menerima kata maaf darinya.

Begitu sulitnya mencari keberadaan dia setelah orang tunya membawanya dia pindah. Tak kukira akan sesulit ini menemukan Dia.

Aku bertemu salah satu kerabat Rere yang tinggal Di Bandung. Dia mengatakan padaku Rere telah di bawah ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Tak menyangka sebelumnya jika Rere memiliki penyakit serius hingga harus dirawat di Singapura.

Perih hati ini ketika melihat Rere terbaring lemah dengan selang-selang memenuhi tubunya. Dia terlihat sangat kurus. Aku menyaksikan penderitaanya sangat dalam. Aku mendekati ibunda Rere yang tak henti menangis. Wajahnya semakin menunjukan kerutan-kerutan yang tak tertutupi oleh bedak. Sayu. Tak terasa air mataku merebah. 

“ Tante, Om, apa yang terjadi dengan Rere?” Tanyaku. 

Tante maya hanya terdiam. Akhirnya Om Andre angkat bicara.

“ Sebulan yang lalu Rere mengalami kecelakaan, kata dokter dia mengalami benturan keras pada kepala-nya sehingga membuatnya koma”, Om Anton mengusap air mata di balik kacamata-nya itu. 

Aku tak mampu berkata lagi. “ Dokter di Indonesia menyarankan kami untuk menyuntiknya mati, karena Rere sudah tak ada harapan lagi. Orang bilang koma itu keadaan dimana jiwa seseorang dalam ambang  hidup dan mati” Jelas Om Anton. 

Hariku seperti disambar petir, mampukah aku kehilangan Rere untuk selamanya. Masih adakah waktu untukku menepati janji-janji yang pernah kuucap. Tuhan, hanya Kau pemilik hidup. Sadarkan lah Rere dalam fase tidur panjangnya. Berikan aku kesempatan untuk membahagiakannya. Merajut tali kali kasih yang pernah terputus. Aku ingin kembali untuk menepati janji-janji suci kami. 

Setiap detikku di sampingnya, berharap dia membukaan mata untukku, menggerakan tangannya untuk membalas sentuhanku. 

Bawalah aku dalam kehidupanmu, biarlah aku menemanimu. Biarlah aku ikut merasakan kesakitanmu. Bawalah aku, Re. 

Jam dinding terus berputar mengikuti waktu. Membawaku semakin jauh dalam kepastian yang tak pasti. Apakah ini yang kamu rasakan, Re. Saat kamu harus menungguku kembali dari masa kerja. Apa begini sakitnya perasaan kamu. Apa perasaan perih ini yang membuatmu terbaring lemah. Ku tahu organmu masih hidup, ku tahu nadimu masih berdetup, ku tahu aliran darahmu masih normal. Bangunlah, Re. Aku ingin menyampaikan rasa yang sekian lama membuatku tak bahagia. Membuatku terombang-ambing. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Aku ingin menikahimu. 

Tak ada sedikitpun tanda-tanda Rere akan terbangun. Yang kulihat hanya raut putus asa pada setiap dokter yang memeriksanya. 

Hanya Tuhan yang mampu menolong,,,

Apa makna apa dibalik ini semua Tuhan, ini memang ujian untukku. Ujian untuk perasaanku. Ujian untuk kehidupanku. Sungguh aku tak akan menyia-nyiakan Rere jika ia terbangun nanti. Aku takkan membuatnya menderita, Tak akan menggantungnya dalam ketidakpastian. Aku menyesal. Aku sangat menyesal. Mangapa tak dari dulu aku mencarinya, mengapa baru sekarang saat dia terbaring lemah. Sungguh ironis.

2 komentar:

  1. kereeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnn......sad ending..trus, akhirnya gmn???

    BalasHapus
  2. karena hanya dilema jadi ending diserahin ke pembaca...sebenernya msh ada ide di otak buat lanjutin critanya..tunggu aja hehehe

    BalasHapus

 

Journey of Life Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang