Kekosongan hati yang bertahun-tahun kurasakan
tak dapat memberikan ketenangan batinku. Rasa bersalah yang kupendam terus
menerus akhirnya meledak. Aku tak sanggup melewati hidup tanpanya. Perempuan
yang telah sekian tahun kutinggalkan. Apakah pantas diri ini untuk mengucap
kata maaf. Memohon untuk kembali kepadanya. Hatiku galau. Aku resah. Aku tak
dapat mengendalikan ego-ku lagi.
Disisiku memang ada perempuan yang sangat
mencintaiku, namun aku semakin dihantui dengan rasa bersalah. Sejujurnya aku
belum mampu menerima dia seutuhnya. Menggantikan Rere. Rere selalu terpatri
dalam hatiku, dia satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh, membuatku tak
dapat berkata-kata lagi, membuatku mabuk kebayang. Hanya Rere.
Pilihan yang telah membuatku terpuruk, saat
aku disudutkan untuk memilih kedua orang tuaku atau Rere, perempuan yang sangat
aku cintai. Kedua-nya sangat berarti untuk hidupku, kelangsungan hidup. Aku tak
mau dianggap sebagai anak durhaka jika tak memilih kedua orang tuaku. Disisi
lain aku sangat kesakitan jika aku tak memilih Rere. Sungguh pelik masalah yang
mencekikku.
“ Mas, kenapa kamu selalu membandingkan
aku dengan mantan kekasihmu itu, aku istrimu mas”
Kata-kata itu selalu menyudutkan aku, memojokkan
aku, aku tak mampu menjawab itu semua. Aku tak sanggup. Aku tak bermaksud
menyakiti hatinya. Cinta tak dapat dipaksaan. Aku tak mampu menghapus
bayang-barang Rere. Terlebih Rere masih hidup. Dia masih dekat untuk digapai.
“ Kenapa dari awal kamu tak menolak pernikahan
ini, ini menyakiti hatiku mas” Air
matanya menetes.
Aku tak tega melihatnya, aku teringat kembali
saat air mata itu tumbah ketika Rere mengetahui aku telah menikah dengan wanita
lain. Aku tahu hatinya hancur.
Aku merangkulnya pelan, memapahnya. Ku tau
Rere sangat mencintaiku. Dia sangat kehilangan aku. Kami berdua telah membangun
pondasi-pondasi untuk kehidupan berdua, namun semua itu runtuh dengan
gablang-nya.
Aku hanya diam menatap istriku. Tak mampuku
berkata. Aku memang salah.
“ Mas lakukan yang terbaik untukmu, aku ikhlas. “ Kata-kata yang membuatku tak percaya
diucapkan oleh sania. Aku terpaku memandanginya.
“ Apa maksud kata-kata barusan?”
“ Raihlah apa yang memang menjadi hak-mu, bukan
aku yang selayaknya bersanding denganmu, Kejarlah Rere kembali. Gapailah dia
sebelum dia menjadi milik orang lain”.
Dengan ketegarannya Sania mengucapkan kata-kata yang telah sekian lama kunanti.
Entah angin apa yang telah membiarkan aku terlepas kembali.
“ Apa kamu benar-benar ikhlas melepaskanku, bagaimana
dengan orang tua kita”. Aku
meyakinkan Sania matang-matang. Aku tak ingin keputusan yang aku ambil salah
lagi.
Sikapku pada-nya telah sangat dingin dan acuh
agar Sania sadar bahwa aku memiliki perempuan lain yang aku cintai. Tetapi kala
itu Sania bersikeras ingin menikah denganku sehingga dia merayu kedua orang
tuanya dan kedua orang tuaku untuk menikahkan kami. Aku mengakui sebagai
laki-laki aku lemah, aku tak dapat memberontak, aku tak dapat memperjuangkan
cintaku. Aku gagal.
“ Aku udah memikirkan matang-matang mas,
berbulan-bulan kita menikah tak membawa kebahagiaan untuk kita berdua. Kita
kehilangan hikmah menikah. Mungkin kita memang tak berjodoh. “ Dengan isakkannya Sania memelukku.
Aku membalasnya. Sungguh tak tega melihat
Sania menangis.
“ Maafkan aku,,,aku tak...”
“ Sudahlah lupakan semua yang pernah terjadi,
raihlah hak-mu”. Sania meninggalkan
aku.
Perasaanku kini campur aduk antara senang
sedih dan bersalah. Aku benar-benar menjadi lelaki yang tak berguna. Aku telah
menyakiti dua perempuan sekaligus.
Kini aku baru menyadari jika hidup itu memang
penuh dengan pilihan. Pilihan yang selalu menudutkanku. Salah mengambil
keputusan segalanya akan hancur. Menyiksa batin yang tak mudah untuk dilupakan.
Aku berbenah, tekatku telah bulat. Aku akan
mencari Rere. Entah apakah dia akan menerimaku kembali atau tidak. Aku tak
berniat untuk mundur. Aku akan mengapai apa yang telah menjadi hak-ku.
Kota demi kota ku telusuri, sudut demi sudut
ku datangi, tak lelah untuk tetap mencari orang yang telah sekian tahun aku
tinggalkan. Orang yang telah menungguku sekian lama dan mendapati aku kembali
kepadanya saat aku telah menikah.Menikah karena memenuhi urusan kantor dan
kedua orang tua kami. Sungguh hati ini sangat berdosa untuknya. Pantaskah aku
menerima kata maaf darinya.
Begitu sulitnya mencari keberadaan dia
setelah orang tunya membawanya dia pindah. Tak kukira akan sesulit ini
menemukan Dia.
Aku bertemu salah satu kerabat Rere yang
tinggal Di Bandung. Dia mengatakan padaku Rere telah di bawah ke Singapura
untuk menjalani pengobatan. Tak menyangka sebelumnya jika Rere memiliki
penyakit serius hingga harus dirawat di Singapura.
Perih hati ini ketika melihat Rere terbaring
lemah dengan selang-selang memenuhi tubunya. Dia terlihat sangat kurus. Aku
menyaksikan penderitaanya sangat dalam. Aku mendekati ibunda Rere yang tak
henti menangis. Wajahnya semakin menunjukan kerutan-kerutan yang tak tertutupi
oleh bedak. Sayu. Tak terasa air mataku merebah.
“ Tante, Om, apa yang terjadi dengan Rere?” Tanyaku.
Tante maya hanya terdiam. Akhirnya Om Andre
angkat bicara.
“ Sebulan yang lalu Rere mengalami kecelakaan,
kata dokter dia mengalami benturan keras pada kepala-nya sehingga membuatnya
koma”, Om Anton mengusap air
mata di balik kacamata-nya itu.
Aku tak mampu berkata lagi. “ Dokter di Indonesia menyarankan kami untuk
menyuntiknya mati, karena Rere sudah tak ada harapan lagi. Orang bilang koma
itu keadaan dimana jiwa seseorang dalam ambang hidup dan mati” Jelas Om Anton.
Hariku seperti disambar petir, mampukah aku
kehilangan Rere untuk selamanya. Masih adakah waktu untukku menepati
janji-janji yang pernah kuucap. Tuhan, hanya Kau pemilik hidup. Sadarkan lah
Rere dalam fase tidur panjangnya. Berikan aku kesempatan untuk
membahagiakannya. Merajut tali kali kasih yang pernah terputus. Aku ingin
kembali untuk menepati janji-janji suci kami.
Setiap detikku di sampingnya, berharap dia
membukaan mata untukku, menggerakan tangannya untuk membalas sentuhanku.
Bawalah aku dalam kehidupanmu, biarlah aku
menemanimu. Biarlah aku ikut merasakan kesakitanmu. Bawalah aku, Re.
Jam dinding terus berputar mengikuti waktu.
Membawaku semakin jauh dalam kepastian yang tak pasti. Apakah ini yang kamu
rasakan, Re. Saat kamu harus menungguku kembali dari masa kerja. Apa begini
sakitnya perasaan kamu. Apa perasaan perih ini yang membuatmu terbaring lemah.
Ku tahu organmu masih hidup, ku tahu nadimu masih berdetup, ku tahu aliran
darahmu masih normal. Bangunlah, Re. Aku ingin menyampaikan rasa yang sekian
lama membuatku tak bahagia. Membuatku terombang-ambing. Aku ingin memilikimu seutuhnya.
Aku ingin menikahimu.
Tak ada sedikitpun tanda-tanda Rere akan
terbangun. Yang kulihat hanya raut putus asa pada setiap dokter yang
memeriksanya.
Hanya Tuhan yang mampu menolong,,,
Apa makna apa dibalik ini semua Tuhan, ini
memang ujian untukku. Ujian untuk perasaanku. Ujian untuk kehidupanku. Sungguh
aku tak akan menyia-nyiakan Rere jika ia terbangun nanti. Aku takkan membuatnya
menderita, Tak akan menggantungnya dalam ketidakpastian. Aku menyesal. Aku
sangat menyesal. Mangapa tak dari dulu aku mencarinya, mengapa baru sekarang
saat dia terbaring lemah. Sungguh ironis.
kereeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnn......sad ending..trus, akhirnya gmn???
BalasHapuskarena hanya dilema jadi ending diserahin ke pembaca...sebenernya msh ada ide di otak buat lanjutin critanya..tunggu aja hehehe
BalasHapus